LIMA - Hijrah

246 5 0
                                    

Semuanya berubah. Segalanya berbeda sekarang. Tempat Rumi bukan disini, sekeras apapun Rumi coba untuk beradaptasi lagi. Kelas, organisasi, teman, pergaulan, bukan lagi tempatnya.

Rumi merasa asing. Seperti kerupuk terkena angin, Rumi melempem dimana-mana, sekeras apapun ia coba untuk bertahan. Nilai turun, kinerja turun, sering merasa mumet dan tertekan sendirian. Rumi bahkan kecewa terhadap dirinya sendiri, bisa-bisanya ia tak lagi berminat di organisasi saat seorang ketua menunjuknya untuk menjadi wakil bahkan tanpa tes dan tanpa menyerahkan sertifikat LKM karena itu berarti sang ketua tau Rumi mampu, tau Rumi bisa. Tapi Rumi mengecewakannya. Rumi menangis menerima omelan pertamanya karena ia tak terlihat kinerjanya, hingga akhirnya Rumi memutuskan untuk jujur dengan keadaan yang sebenarnya dan mengatakan bahwa kemungkinan besar Rumi akan mundur.

Banyak yang kecewa dengan keputusan Rumi, tapi mau bagaimana lagi. Ia tak ingin kedepannya malah menjadi parasit. Pola pikirnya berubah, tujuan hidupnya berubah. Ia sadar ia masih menjadi nahkoda di dalam bahteranya sendiri, ia harus bisa memimpin dirinya sendiri, kemana arah angin membawanya, kesanalah ia menuju. Ia selalu yakin angin itulah petunjuk dari Tuhan, ke tempat dimana seharusnya ia berlabuh, entah untuk menetap atau singgah sebentar untuk belajar.

Banyak hal yang sudah ia pelajari selama satu setengah tahun disini. Tentang cinta, persahabatan, manajemen, dan beragam ilmu yang tak bisa ia dapat di dalam kelas.
Narumi sadar, ia harus hijrah. Bukan hanya soal penampilan, tapi juga tempat serta tujuannya yang sebenarnya.

Ah, mau meledak. Rumi sering sekali merasakan hal itu sampai ia tak bisa lagi mengekspresikan diri.

Entah kenapa, belakangan, Rumi mulai merasa salah langkah. Daridulu ia mungkin memang pandai berbahasa Inggris, tapi bukankah memang sudah seharusnya jaman sekarang harus bisa berbahasa Inggris? Bahasa internasional. Sekarang, ia tak tertarik lagi untuk belajar secara mendalam. Tak tertarik lagi untuk duduk di kelas memperhatikan bagaimana noun clause, adverbial atau adjective clause di tempatkan di dalam sebuah kalimat atau paragraf. Tak tertarik lagi membuat compound-complex sentences, dan lainnya.

Ia melemah, menurun, teman-teman berbisik dibelakangnya, "Rumi sekarang nurun banget. Kenapa ya?" Mendengarnya pun ia hanya bisa tersenyum kecut. Sedih pastinya. Ia juga tak ingin menurun seperti ini, tapi ia sadar sudah bukan disini tempatnya.

Dulu Rumi seorang tenaga teknisi farmasi. Seharusnya ia melanjutkan studi nya ke Farmasi. Tapi apa daya, buntu di dana dan Rumi khawatir tak mampu menggantikan uang orang tuanya apabila orang tuanya memaksakan ia untuk tetap menjadi Apoteker. Iya, ia tau memang itu sudah kewajiban orang tuanya, tapi sebagai anak, ada rasa tak enak hati apabila sudah dibiayai pendidikan tinggi tapi hanya bisa sedikit menghasilkan. Bagi Rumi, lebih baik seadanya tapi ia mampu mengoptimalkan potensi yang ada di dalam drinya.

Kehidupan Rumi mulai berguncang pada tahun 2012 hingga membawa keluarganya kepada perceraian di tahun 2015. Rumi yang saat itu masih bersama Rusdi juga hubungannya sempat dirundung drama selama dua bulan, ia sempat dekat dengan pria lain. Tapi Rusdi tetap mempertahankan Rumi meski Rusdi tau hati Rumi telah berkhianat padanya.

"Kenapa kamu masih mau sama aku? Aku udah nyakitin kamu. Aku udah bener-bener gak pantes buat kamu, Rus." kata Rumi di tepi danau hari itu.

"Kamu cuma khilaf, Rumi. Aku tau kamu. Ini cuma sesaat. Akan ada masa dimana kamu merindukan aku kalau aku benar-benar hilang. Dia gak baik buat kamu, Rumi. Makanya aku mati-matian ngedapetin kamu lagi." kata Rusdi hingga membuat matanya terbelalak.

"Kamu itu beda, Rumi. Mungkin emang banyak yang lebih baik atau lebih cantik dari kamu. Tapi gak ada yang kayak kamu!"

Rumi semakin terkesima.

Kembali [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang