Kedekatan kami dimulai berkat mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Saat itu aku satu kelompok dengan Devan. Devan pun mulai berbicara kepadaku. Aku masih ingat betul bagaimana ia meremehkan kemampuanku dengan bertanya,
"Lo pinter gak?" yang kemudian hanya kurespon dengan "Gue rangking 3 se-sekolah."
Dan dengan bangganya Devan memamerkan prestasinya sebagai peraih nilai Bahasa Inggris tertinggi di sekolahnya dulu yang padahal aku sama sekali tak menanyakan hal itu.
Hari-hari pun terus berlalu, setiap dosen keluar, Devan selalu menghampiriku mengajakku mengobrol mengenai apapun terutama tentang pekerjaanku. Aku pun merespon dengan hangat sebagaimana seorang teman yang semestinya.
Lama-lama ada kejadian yang membuatku harus menjauhi Devan selama satu minggu. Selama itu pula aku dan Devan saling menatap tanpa sengaja. Sejak saat itulah aku sadar... Ada sesuatu diantara kami yang terbaca di dalam mata Devan.
Bagaimana tidak? Kami baru kenal, belum satu bulan. Tapi saat aku menjauh, ia menatapku penuh rasa kehilangan seakan-akan bertanya, "Gue salah apa sampe dijauhin?"
Ah, aku sebal mengingatnya. Kenapa pertemuan kami harus begini?
Oke. Aku tidak akan pernah menyalahkan pertemuan kami. Karena dari dulu, aku selalu percaya satu hal; segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki alasan. Seperti jatuh cinta, hal yang tak pernah kuduga dan tak kuinginkan meski seringkali kucoba untuk menyangkalnya. Tapi nyatanya, aku sampai jatuh ke lubang yang sama sampai tiga kali.
Tiga kali pula semuanya berujung dengan rasa sakit.
Kali pertama yakni saat aku mulai kegeeran dengan sikap Devan kepadaku. Setelah satu bulan perasaan ini muncul untuknya, tiba-tiba dia memperlakukanku dengan tak mengenakkan. Saat itu aku hanya memintanya untuk memindahkan tasku tapi ia malah membentakku dan mengumpat kotoran untukku.
Hatiku mencelos saat itu hingga membuatku sadar kalau tak seharusnya aku menyukai pria seperti Devan.
Lalu saat di rumah teman kami, Tono, aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi Devan pernah bercerita padaku setelah kami jadian kalau saat di rumah Tono, dia sudah menyukaiku.
Hari itu hari Sabtu. Di cuaca yang cerah, aku janjian bertemu dengan Devan di halte. Perjalanan yang sekiranya akan melelahkan pun dibuka dengan sikap diam Devan. Aku dan Devan kikuk, kami tak saling bicara satu sama lain. Jujur saja, aku sendiri deg-degan saat itu, darah berdesir tak beraturan. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku berdenyut-denyut di telingaku.
Hingga akhirnya Devan membelokkan motornya ke pom bensin. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat janjian untuk konvoi bersama teman yang lain menuju rumah Tono. Masih dalam keheningan, kami pun hampir tiba hingga akhirnya Devan pun membuka suara.
"Jam berapa?" tanya Devan menoleh kepadaku.
"Setengah sembilan." Jawabku sambil melongok ke jam tangan.
"Kita ngaret setengah jam ya." Kata Devan basa-basi.
"Iya" jawabku seadanya.
Bukan apa-apa, jantungku tidak bisa diajak kompromi saat Devan memberanikan diri mengajakku berbicara. Aku sudah berulang kali mencoba membatasi perasaan ini, tapi selalu gagal. Rasanya terus berkobar. Devan pun semakin melajukan motornya menuju rumah makan yang masih tutup. Di sanalah kami janjian bersama teman-teman.
Sambil menunggu teman-teman yang lain, aku sempat menyinggung bahkan memuji Dhika yang sampai menjemput Erica ke rumahnya padahal rumah mereka dari ujung ke ujung sedangkan rumahku dan Devan bisa dibilang cukup dekat tapi dia enggan menjemputku di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali [COMPLETE]
Romance"Kamu gak perlu ngemis cinta dari aku, Devan. Tanpa kamu minta sekalipun hati aku selalu ada buat kamu" *** Aku tidak pernah menyalahkan pertemuan kita. Karena dari dulu, aku selalu percaya satu hal; segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki alasan...