Aku masih ingat betul bagaimana pegalnya rahangku karena terus senyam-senyum usai Devan mengecapku menjadi kekasihnya. Rasanya, dunia benar-benar milik kami. Teman-teman kampus pun langsung menyoraki di grup kelas serta memberikan selamat kepada kami.
Saat itu, aku merasa bagaikan manusia yang paling bahagia di muka bumi.
Namun, aku baru sadar satu hal. Aku telah keluar dari duniaku dan mencoba membangun dunia sendiri bersama Devan. Yang akhirnya kusadari lagi bahwa kehadiranku sama sekali tak diketahui di dunia Devan.
Dan.... duniaku menolak keberadaan Devan.
Semua bermula ketika satu minggu setelah aku dan Devan resmi berpacaran, keluargaku menyindir hubunganku dengan Devan. Bahkan ibuku secara terang-terangan memintaku untuk menjauhi Devan.
Jelas kutolak karena kami baru saja menjalani hubungan selama satu minggu. Di kira aku main-main dengan hubungan yang baru kubangun?
Lalu, aku berkata kepada ibuku,
"Aku bahagia dengannya. Bu."
Ibuku pun menggeleng, "Astagfirullah... Bahagia kok dengan pacaran? Dia begitu di awal doang paling." katanya sambil berlalu.
Aku pun terkesiap mendengar ocehan ibuku.
Sama halnya seperti teman lamaku. Saat kumpul, tiba-tiba teman terdekatku memanggil.
"Heh, sini lu." Panggil temanku bergaya preman.
"Kenapa?" tanyaku menghampiri.
"Cerita gak." katanya mendesak.
"Cerita apaan?" tanyaku lagi pura-pura tak tau.
"Itu jadian. Cepet amat baru putus beberapa bulan dari yang pacarannya tahunan." Katanya.
Aku sempat terkekeh mendengarnya hingga akhirnya aku berkata,
"Yah gimana ya, emang suka."
"Etdeh, bakal langgeng gak ya? Belom ribut-ribut besar sih ya?" kata temanku lagi.
"Ya belom. Satu bulan aja belom." Kataku.
"Pantesan kayak orang yang baru jatuh cinta."
Aku pun kembali terkekeh mendengarnya.
"Eh, lu tuh kecepatan, Rumi. Gak tau kenapa gue bisa liat lu sebenernya belom siap." Katanya lagi.
"Enggak kok, udah siap." Kataku meyakini.
"Aish. Yaudah lah, moga langgeng." Tutupnya.
Komentar demi komentar terus saja datang mengenai hubunganku dengan Devan. Kebanyakan dari mereka terus membandingkan antara mantanku, Rusdi dengan Devan. Seperti adikku, ia pun membandingkan antara sikapku dengan Rusdi dan Devan.
"Kenapa sih lu kalo sama Rusdi kayaknya tuh males-malesan gitu tapi kalo sama Devan, lu tuh semangat banget. Devan salah sedikit, langsung lu maafin. Dia jadi kayak gak ada usahanya buat lu." Katanya.
Aku pun hanya tutup telinga.
Duniaku terus saja membandingkan antara Rusdi dan Devan. Temanku yang lainnya juga terus membandingkan Rusdi dengan Devan.
"Ih, Rumi. Baikan Rusdi atau Devan?"
"Sabaran Rusdi atau Devan?"
"Siapa yang lebih baik? Rusdi atau Devan?"
Aku benar-benar lelah sebetulnya mendengar ocehan teman-teman lama dan terdekatku. Bahkan keluargaku sampai menilai kalau akulah yang terlalu mencintainya padahal perasaan dia untukku sebenarnya biasa-biasa saja.
Lagi-lagi aku tutup telinga.
Entah kenapa aku merasakan hal yang berbeda. Aku benar-benar bisa melihat keseriusan Devan dari setiap kata-katanya. Semua sangat indah, sangat manis. Kebahagiaan kami bagaikan lingkaran yang tak berujung. Aku pun sampai berkata kepada Devan,
"Jangan manis-manis banget dong. Takut manis diawal doang."
"Tenang, Sayang. Kamu bukan permen karet." Jawabnya menenangkanku.
Lalu setiap kali aku hendak bekerja, Devan akan menyemangatiku.
"Semangat kerjanya, Rumi,"
Aku benar-benar terbang. Lebih tepatnya lagi diajak terbang. Perlahan tapi pasti, Devan membawaku semakin tinggi bagai sampai ke langit ketujuh.
Aku juga masih ingat betul bagaimana jalan-jalan pertama kami saat ke Kota Tua. Di kereta, aku sempat merajuk karena tak diberikan gelang yang ia kenakan. Devan memakai dua gelang yang menurutku sangat pas apabila salah satunya untukku. Aku pun memintanya untuk kenang-kenangan. Namun, Devan terus meledek hingga aku bete dan jadilah aku hanya diam memandang keluar jendela.
"Hey, masa ngambek di kereta?" tanya Devan memegang pundakku.
"Aku mau gelang kamu." Kataku mengerucutkan bibir.
"Iya deh nih. Tapi tiga ribu ya? Aku beli di Jogja nih sepuluh ribu tiga." Kata Devan bercanda.
"Iya entar tiga juta." Timpalku.
"Weh sombong!" kata Devan sambil tertawa.
Lalu, usai dari Museum Fatahilah, kami bercanda-canda di taman yang ada. Devan selalu berhasil membuat perutku sakit kalau sudah bercanda. Bahkan sepulang dari Kota Tua, saat hujan menahan kami di parkiran motor stasiun, Devan masih saja mengajakku bercanda sampai tukang parkir yang ada memperhatikan tingkah kami.
Kalau sudah bersama Devan, aku benar-benar tersita. Tak tau tempat untuk bercanda dan tertawa. Devan berhasil merenggut duniaku.
Rasa bahagiaku tak hanya itu saja. Saat akhirnya kami menonton film untuk pertama kalinya usai berpacaran, aku menyenderkan kepalaku ke pundak Devan di bioskop. Lalu, setiap kali aku mencoba untuk mengangkat kepalaku, Devan selalu mengembalikannya ke tempat semula.
"Disini aja," katanya.
Saat aku memejamkan mataku pun, Devan terus mengelus pipiku. Rasanya sangat hangat dan menenangkan. Aku benar-benar luluh diperlakukan seperti itu.
Sayang, kebahagiaan kami hanya terasa di tiga bulan pertama. Selanjutnya, keseimbangan kami, kebahagiaan kami, hilang. Dan selalu kami usahakan untuk mencari dan mendapatkannya kembali.
Kami hampir selalu mencari plot kehidupan untuk kemudian kami sambungkan demi mendapatkan kebahagiaan kami.
Hingga akhirnya aku sadar. Cara dramatis itulah yang akhirnya membawa kami kepada kehancuran.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali [COMPLETE]
Romance"Kamu gak perlu ngemis cinta dari aku, Devan. Tanpa kamu minta sekalipun hati aku selalu ada buat kamu" *** Aku tidak pernah menyalahkan pertemuan kita. Karena dari dulu, aku selalu percaya satu hal; segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki alasan...