EMPAT - Move on?

224 5 0
                                    

Duniaku benar-benar kembali dalam keadaan yang remuk redam usai Devan mengakhiri kisah kami. Rasanya sungguh menyakitkan setelah jawaban dari digantungnya hubungan kami adalah akhir dari kisah ini. Tepat pada bulan ke enam hubungan kami, aku berkata kepada Devan.

"Selamat tanggal 20, selamat enam bulan."

Yang dibalas dengan, "Et kamu. Kan udah selesai haha."

Iya. Dia tertawa dalam chat itu. Saat itu ia masih di Jogja, bahkan ia terang-terangan menolak telfon dariku saat aku tau ia sedang dalam perjalanan pulang. Aku juga menawarkan diri untuk menjemputnya sepulang ia dari Jogja. Tapi lagi-lagi ditolak.

Sepulang ia dari Jogja, kubiarkan ia beristirahat dengan tenang. Aku tak mengganggunya, aku melampiaskan emosi dan pikiranku yang berkecamuk lewat rangkaian kata, lewat tulisan-tulisan tak bermakna yang kemudian malah ia anggap sebagai hal yang dramatis.

Aku seperti itu karena tak ingin mengganggunya yang sedang istirahat. Aku seperti itu karena ingin ia tenang, biarpun aku terus uring-uringan. Salahku memang setiap rangkaian kata itu kukirim ke email-nya karena aku kehabisan akal bagaimana caranya agar ia bertahan.

Hingga di sore hari, saat ia sudah cukup beristirahat, ia membalas email-ku.

"Aku udah berubah banget, udah gak cocok jadi partner kamu lagi. Maaf, ini akhir kita ya. I'm done."

.....

Aku tak menangis membacanya. Aku malah langsung meneleponnya.

"Kenapa, Van? Kok putus? Seharusnya dengan semua yang terjadi kita bisa makin kuat, bukan malah pisah kayak gini." kataku.

"Aku capek sama urusan cinta-cintaan. Aku mau fokus sama kehidupan aku dulu. Kayak apa yang kamu bilang, kalo emang kita jodoh juga kita akan dipertemukan lagi. Sekarang, kamu kuat, ya. Kamu ikhlas, ya."

Aku pun menghela napas panjang membiarkan Devan mengambil kendali akhir hubungan kami.

"Kalo gitu, besok jadi gak?" tanyaku karena sebelumnya kami berjanji untuk bertemu.

"Terserah."

"Kok terserah? Sekarang semua keputusan ada di kamu. Aku gak akan ganggu gugat." Kataku.

"Gak usah deh."

"Ya udah. Tapi bisa ketemu gak sekarang di taman?" tanyaku.

"Entar kamu nangis lagi." Katanya.

"Enggak lah." Timpalku sambil tersenyum.

Hah.. Tersenyum. Ia tak tau runtuhnya duniaku yang lebih parah daripada hancurnya hatiku.

"Kalo aku yang nangis gimana?" katanya lagi entah bercanda atau tidak.

"Ngapain kamu nangis? Kan ini keputusan kamu." Kataku masih tersenyum.

"Ya siapa tau ada bawang gitu kan jadi aku nangis." Katanya bercanda.

"Ya udah ya ketemu jam 4,"

"Iya,"

Telepon pun ditutup dan hujan langsung mengguyur dengan derasnya seakan-akan menghalangi pertemuan kami. Dan jadilah pertemuan itu batal, sekaligus itulah terakhir kalinya aku mendengar suara Devan.

Selama satu bulan pertama, hampir setiap minggu kami berjanjian untuk bertemu karena aku benar-benar ingin menyelesaikan ini semua, tapi selalu gagal seakan-akan memang belum saatnya untuk aku dan Devan bertemu lagi. Setelah putusnya hubungan kami, aku sadar aku sama sekali sulit untuk mengikhlaskannya. Segala hal kucoba untuk membuat diriku membencinya tapi sama sekali tak bisa. Perasaanku masih utuh untuknya, perasaanku masih ada buatnya, perasaanku... selalu seperti itu untuknya.

Kembali [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang