"...dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An'am:59)
"...telah kering tinta pena yang digunakan untuk menulis lembaran takdir, sehingga tidak mungkin mengalami penambahan dan pengurangan." (Syarh Muslim li An-Nawawi)
---
Hari itu, Rumi baru saja tiba dari Jepang bersama dengan beberapa rekan kerjanya yang lain. Ia membenarkan letak kacamatanya dan menyampirkan hijabnya yang terjuntai seraya menyeret koper untuk segera pulang.
Tuk.. tuk... tuk.. bunyi sepatu boots Rumi menggema di bandara. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Jantungnya berdetak lebih kencang hingga membuatnya mematung berdiri.
Ada seorang pria dengan kacamata hitam yang langsung ia lepaskan begitu melihat Rumi mematung menatapnya. Rumi diam tak berkutik, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia ingin sekali melangkah tapi langkahnya terasa amat berat hingga pria itu pun mendekatinya.
Lebih dekat... lebih dekat lagi hingga Rumi tak bisa mengerjapkan matanya. Sekarang, jarak diantara mereka hanya satu jengkal. Ia pun meremas kuat genggaman koper berwarna hitam miliknya.
Tidak... tidak mungkin.
Senyuman maut pria itu pun langsung tersimpul yang dalam seketika meruntuhkan segala benteng yang sudah Rumi bangun selama bertahun-tahun lamanya.
"Hai. Aku pulang."
***
Rumi menyandarkan kepalanya ke jok kursi taksi yang membawanya menjauh dari bandara..... sekaligus menjauh dari pria itu. Ia menghela napas panjang dengan pikiran yang cukup membuat kepalanya mumet seketika. Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba muncul di hadapannya dengan senyum tanpa rasa bersalah sebagaimana dulu ia pertama kali meminta Rumi kembali?
Iya. Sebelum benar-benar putus, pria itu juga pernah berkata pisah kepada Rumi. Namun, dua hari kemudian, mereka bertemu di tepi danau. Pria itu datang sambil mengagetkan Rumi tanpa rasa bersalah hingga membuat Rumi tak bisa berhenti menangis selama satu jam.
"Maaf ya, Sayang." Kata pria itu sambil mengusap air mata Rumi yang terus mengalir tanpa suara.
Rumi hanya bisa memalingkan wajahnya, tak kuasa menatap mata menjengkelkan itu. Dengan mudah ia datang tanpa rasa bersalah dan malah mengagetkan Rumi yang sedang harap-harap cemas menanti kedatangannya di tepi danau.
"Balikan yuk ah. Aku gak bisa tanpa kamu. Kacau banget." Katanya lagi terus menatap Rumi yang membuang muka.
"Kamu rese banget sih! Dateng-dateng ngagetin, ngajak bercanda seakan-akan kita baik-baik aja!" Kata Rumi masih menangis.
"Emang kita baik-baik aja." Katanya santai.
"Apaan! Siapa yang mutusin aku?"
"Gak tau. Bukan aku pokoknya." Katanya mengelak.
"Terus siapa?!"
"Setan di dalam tubuh aku kayaknya."
"Nyebelin!" pekik Rumi mulai mencubiti pria itu.
Hah... Rumi kembali menghela napas mengingat kejadian itu. Yang benar saja.... Jangan-jangan ia kembali ingin berkata hal yang sama?
Setan di dalam tubuh aku yang ngomong. Begitu, hah?
Devan menatap taksi yang membawa Rumi menjauh dari bandara. Ia berusaha mengimbangi langkahnya dengan Rumi ketika Rumi terus berjalan cepat seakan-akan tak ingin bertemu dengannya. Ia tau hal ini tak akan mudah. Tapi segalanya sudah cukup, penyiksaan perasaan yang mereka lakukan sudah benar-benar cukup. Saatnya kembali. Devan tau itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali [COMPLETE]
Romansa"Kamu gak perlu ngemis cinta dari aku, Devan. Tanpa kamu minta sekalipun hati aku selalu ada buat kamu" *** Aku tidak pernah menyalahkan pertemuan kita. Karena dari dulu, aku selalu percaya satu hal; segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki alasan...