Part 14

533 45 16
                                    

[Jangan lupa Vote sehabis baca]

-------------------------------------------------------------

Meera's POV

Sudah lewat lima jam. Tapi belum ada tanda-tanda operasinya akan berakhir.

Aku duduk di kursi ruang tunggu karena kakiku belum cukup kuat untuk terus berdiri. Dokter sudah melarangku sebenarnya — dengan alasan aku baru saja siuman — yang langsung kutolak mentah-mentah. Dan yah, mungkin karena lelah dengan sikap keras kepalaku, ia pun menyerah dengan syarat aku akan kembali ke kamar usai operasi.

"Veera, bisakah kau duduk saja?" Tegur Ishoo.

"I can't, Ishoo,"

"Tapi aku pusing melihatmu mondar-mandir terus seperti setrika. Duduk dan tenanglah. Cukup berdoa dan percayalah Dokter Mohan akan melakukan yang terbaik,"

Ya, dokter Mohan yang dimaksud Ishoo adalah dokter yang dulu sempat menolongku. Dialah yang kini menanganiku dan Raj atas permintaan Veer.

"Bagaimana aku bisa tenang sementara Bhaiya sedang berjuang di dalam sana?"

"Veera, duduk," perintah Veer. Veera hendak mengeluarkan ekspresi menolak tapi diurungkan melihat Veer mendelik padanya.

"Jelaskan kenapa kondisinya bisa memburuk begini," Tanyaku lirih.

"Ehm, lukanya didominasi akibat lebam dan terbentur sesuatu, terutama di tengkuk. Tulang rusuknya retak sementara tulang betisnya patah. Luka bakarnya tidak terlalu serius. Peluru yang bersarang di kaki dan punggungnya juga sudah diambil. Tapi ternyata peluru di punggungnya masuk lumayan dalam, dan baru terdeteksi kemarin," jelas Veer.

"Kenapa bisa seceroboh itu?" Geram Ishoo. Veer hanya mengangkat bahu.

"Mama dan Papa, apa mereka sudah tahu tentang ini?" Tanyaku pada Ishoo.

"Sudah, Didi. Waktu kuhubungi, Papa ternyata baru saja tiba di Los Angeles, urusan bisnis. Papa bilang akan datang secepatnya,"

Aku kembali diam. Papa memang selalu seperti itu. Aku terus meyakinkan diri bahwa hal itu untuk kami juga. Lagipula, Papa tidak pernah ingkar janji. Sekali dia bilang secepatnya, maka ia akan menepatinya.

Beberapa menit kemudian, lampu ruang operasi padam. Aku spontan beranjak menghampiri dokter Mohan meski sedikit tertatih.

"Raj?"

"Operasinya lancar. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Sekarang semua tergantung kehendak Dewa. Kita hanya punya waktu 24 jam. Semoga kondisinya cepat membaik," Dokter Mohan menatap si kembar. "Kapan Appa dan Amma kalian datang?"

"Gula darah Amma naik karena mendengar kondisi Bhaiya. Jadi Appa tidak mengizinkannya pergi sampai Amma membaik," jawab Veera. Dokter Mohan mengangguk.

"Ehm, Dokter, apa kami boleh melihat Raj?" Tanyaku lagi.

Dokter Mohan menatapku sangsi. "Boleh. Tapi kalian harus bergantian. Hanya seorang yang boleh masuk ke kamarnya. Karena dia masih butuh perawatan intensif, setidaknya sampai dia siuman,"

Kami mengangguk serempak. Kulirik, brankar Raj didorong keluar menuju ruang ICU di dekat kamar rawatku.

"Baiklah. Saya permisi dulu. Segera panggil saja kalau terjadi sesuatu pada Raj,"

"Dhanyavad, Dokter," aku menyatukan kedua tanganku di depan dada yang dibalas senyuman olehnya.

"Chalo (ayo), Didi. Kau juga harus istirahat," ajak Ishoo.

Untitled LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang