Red Coffee

449 11 3
                                    

Red Coffee

Pagi itu, angina berhembus dengan kencangnya, sang surya memancarkan sinarnya menyambut orang-orang yang memulai aktivitasnya dengan semangat baru. Hari ini, aku akan berusaha lebih baik dari kemarin. Aku tidak mau terlambat, dihukum karena lupa membawa tugas, tidak makan siang, dan pulang terlambat seperti kemarin. Pokoknya, hari ini aku tidak mau bernasib sial lagi.

Langkangkahku memasukki gerbang sekolah yang masih terbuka lebar.Kupercepat langkahku menuju kelas yang berada di lantai dua.

"Hei, Riel, kenapa terburu-buru?" Langkahku terhenti begitu melihat Aldo teman sekelasku berdiri di sisi koridor.

"Apa gurunya belum datang?"

Aldo menggeleng. "Kepagian kali kalau gurunya datang jam segini," sahut Aldo.

Aku menghela nafas lega. "Hah, selamat aku. Apes banget dah kemarin itu," kutepuk daadaku dengan tangan kanan.

"Ayo masuk, pacarmu sudah nunggu dari tadi," ucap Aldo yang merangkul pundakku dan membawaku ke dalam kelas. Kulihat di bangku deretan kedua, Alisha duduk manis sambil membaca buku, seperti biasanya.

"Hei, Sha, nih si Ariel sudah datang," Aldo mendorongku duduk di sebelah Alisha.

"Apaan kamu Al, nggak usah dorong-dorong bisa kali, ya?" ucapku yang duduk di sebelah Alisha.

"Hai Sha, asyik baca buku, nih?"

Alisha menoleh ke arahku dan tersenyum. "Iya, ceritanya seru nih. Kamu mau pinjam?" tawar Alisha yang menutup buku novel yang baru selesai di abaca.

Aku menggelengkan kepala pelan. "Enggak usah, kamu tahu aku nggak begitu suka baca novel. Ngomong-ngomong, nanti sepulang sekolah kamu ada acara?" tanyaku sambil menyungging senyum manis.

Alisha tampak berpikir. "Um ... Kayaknya nggak ada, ada apa?"

"Aku mau ajakin kamu ke café, mau nggak?" ajakku sambil berharap gadisku tidak menolak ajakkanku.

"Boleh, boleh, lagi pula, aku bosan di rumah. Ok ok, nanti janjian jam berapa?"

Syukurlah, dia tidak menolaknya. "Nanti aku akan menjemputmu, kamu siap-siap saja."

Arloji di tangan kananku menunjukkan pukul tiga sore. Kuketuk pintu rumah Alisha untuk kesekain kalinya, sambil menyerukan namanya.

"Alisha! Sudah siap belum, sih?"

Tak lama kemudian, sosok wanita yang menegenakan dress berwarna hijau rumput, dengan pita pink melingkar di pinggangnya, serta aroma mawar yang semerbak, membuat mataku terpaku menatapnya.

"Waw, kamu cantik kalau pakai baju warna cerah begitu," komentarku, sambil terus menatap wajah manisnya.

"Ah, bisa saja. Sudahlah, di mana cafenya?" Obrolan itu terhenti, dan kami masuk ke dalam mobilku. Aku duduk di kursi pengemudi, dan Alisha duduk di sebelahku. Sungguh senang hatiku, bisa menghabiskan waktu bersama gadisku ini.

"Apa jauh?" tanya Alisha sambil memperhatikan jalan yang ramai oleh kendaraan. Aku tak menjawab pertanyaan Alisha, aku malah menghirup aroma mawar yang berasal dari farfumnya.

Beberapa menit kemudian, kami tiba di café. Segera kuparkirkan mobilku dan keluar dari mobil. Tak lupa aku membuka pintu untuk Alisha dan menuntunnya masuk ke dalam café.

Café itu itu tampak sepi, hanya terlihat beberapa pelanggan dan pelayan yang tampak sibuk di dalam sana. Kursi-kursi kayu yang tampak sudah tua, cahaya lampu yang remang-remang, dan keadaan café yang sedikit lembab membuat café itu tampak mnnyeramkan.

"Ih, Riel, kenapa cafenya seram begini? Kamu yakin nggak salah pilih?" Alisha memeluk lengan kiriku sambil bergidik.

Ah, gadisku yang penakut. "Enggak kok, ini café yang benar. Sudahlah, jangan pikirkan suasananya, yang penting kita makan dulu," ucapku berusaha menenangkan gadis itu.

Alisha mengangguk, dia membuka buku menu dan mulai memilih minuman. Aku melakukan hal yang sama, aku memilih red coffee.Alisha memanggil salah satu pelayan. Seorang pria agak tua dengan ekspresi dingin sambil membawa sebuah buku catatan kecil menghampiri kami. "Kami pesan red coffee dua, ya," ucapku pada pelayan berwajah dingin itu.

Langsung saja Alisha menghunusku dengan tatapan iblisnya. Pelayan itu menulis pesanaku, lalu melempar senyum misterius padaku. Dengan senang hati, aku membalas senyum pelayan itu dengan senyum hangat.

"Apaan sih kamu, Riel? Aku kan, nggak suka kopi, kok malah dipesenin kopi?" sembur Alisha setelah prlayan itu pergi.

Aku tertawa kecil mendengar ucapannya. "Tenang aja, ini kopi yang enak. Dijamin deh, habis kamu coba seteguk, kamu akan ketagihan."

Alisha tak merespon perkataanku, dia hanya memasang ekspresi cemberut sambil melipat kedua tangan di dada. Aku memamerkan senyum jahil,

"Sha, kamu tahu enggak, di mana aku bisa lihat pelangi?" tanyaku memulai rayuan abal-abalku.

"Di atas bukit, bodoh ah," jawabnya ketus sambil memalingkan wajah. Aku memiringkan kepalaku sambil tersenyum.

"Salah, aku bisa melihat pelangi di senyumanmu. Jadi jangan cemberut begitu dong, nanti pelanginya hilang."
"Gombal ah, gak lucu," masih dengan wajah dingin, dia menatap ke arah jendela.

Ketika aku hendak membuka mulut, pesanan kami datang. Dua cangkir red coffee mendarat di meja. Kutarik secangkir kopi ke dekatku lalu meniupnya, agar cepat dingin.

"Ayo diminum, Sha," ucapku sambil mengedipkan sebelah mata. Akhirnya kami menyeruput kopi bersamaan. Rasa kopinya sungguh nikmat, ditambah susu yang menambah rasa kopi menjadi lebih manis. Cairan pekat berwarna meah kehitaman itu perlahan masuk ke kerongkonganku. Kurasakan sensasi rasa kopi itu, sungguh nikmat. Namun tidak dengan Alisha, dia malah terbatuk-batuk dan menahan muntah.

"Kopi macam apa ini? Rasanya aneh! Kamu bilang aku akan ketagihan kalau sudah minum seteguk, tapi rasanya aneh, sumpah," protes Alisha sambil meletakkan cangkir kopi dengan keras.

"Ah sudahlah, aku mau pulang!" Alisha beranjak dari tempat duduknya.Namun, sebelum selangkah dia meninggalkan kursi, tiba-tiba saja dia ambruk dan segera kutangkap.

"Maaf sayang, tapi aku butuh darahmu untuk bahan dasar kopi kesukaanku," bisikku tepat di telinga gadis itu. Aku tahu gadis itu tidak mendengar bisikkanku, tapi aku sudah mengatakannya. Segera kugendong gadis itu ke dalam ruanganku.

"Tuan, apa dia korbannya?" seorang pria berwajah dingin yang tadi melayaniku tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. "Dia akan menghasilkan kopi yang nikmat."

"Hei Riel, ke mana pacarmu Alisha?" tanya Aldo yang melihatku duduk sendirian.

"Entahlah, aku juga nggak tahu kabarnya. Mungkin dia sakit atau apa," ucapku sedikit tidak peduli. Alisha sudah tidak ada, darahnya mengalir di tubuhku.

"Ini sudah seminggu,, serius nggak ada kabar? Kamu nggak tanya orang tuanya?" tanya Aldo, dia duduk di bangku sebelahku.

"Orang tuanya sudah lapor ke polisi, kasus Alisha masih dalam penyelidikan," jawabku yang fokus pada hand phoneku. "Dan polisi nggak akan mendapat petunjuk apapun," sambungku dalam hati.

"Eh by the way, aku mau ajakin kamu ke café, kamu ada acara nggak nanti siang?" ajakku pada sahabat karibku itu.

"Boleh, deh. Nanti kasih tahu aku alamat cafenya yak," sahut Aldo. Seringai terukir di wajahku, namun kututp dengan hand phone.

"Nggak usah, nantti biar aku menjemputmu." Aku tidak sabar untuk kopi merah selanjutnya.

END

Oneshoot And TwoshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang