Survive
"Aarrgghh!" aku menjerit kesakitan. Cambuk itu kembali bersentuhan dengan punggungku. Kedua tanganku yang terikat oleh rantai menegang.
"Terakhir," ucap seseorang di belakangku yang memegang kendali penuh atas cambuk itu.
Splash!
"Uurrgghh!" darah mengucur dari mulutku. Kepalaku tertunduk hingga rambut panjang kusutku menutupi wajahku yang lebam karena ditampar beberapa kali.
"Okay, sudah selesai. Nikmati malammu, May," ucap laki-laki kekar yang ditugaskan untuk menyiksaku selama ini. Aku tahu namanya, tetapi aku memanggilnya dengan sebutan Mr. Rude.
"Thanks, Sir. Good night," balasku yang perlahan mengangkat kepalaku. Mr. Rude melepas rantai yang membelenggu kedua tanganku lalu menggiringku kembali ke kamarku.
Kamar, huh? Kamarku tidak terlalu buruk. Tempat tidur kayu tanpa kasur sederhana, jendela yang kotor oleh debu, dan juga toilet kecil di pojok ruangan. Ah, aku sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Mengerikan? Memang. Tapi, apa dayaku. Aku harus mendekam di dalam karantina ini karena dosa yang telah kuperbuat.
Kulirik piring yang berisi nasi dan telur yang hanya setengah porsi yang tergeletak di atas ranjangku. Aku menghela napas panjang lalu menyambar makan malamku.
"Aku harap menu sarapan besok bukan telur lagi," harapku walaupun aku tahu hal itu tak akan terjadi. Tidak berguna, lebih tepatnya. Dalam waktu sepuluh menit piring itu telah bersih. Segera aku meletakkan piring kotor itu di depan pintu lalu kembali ke ranjang.
"Sudah delapan tahu lebih aku berada di sini. Walaupun aku disiksa sampai sekarat, kenapa aku tidak mati juga?" gumamku seraya menatap langit-langit.
"Oh, aku harus tidur. Besok aku harus memotong banyak kayu," gumamku sesaat sebelum aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.
***
"Huufftt ...," aku mengelap keringat yang mengucur dari dahiku. Kapak di tangan kanaku akhirnya terjatuh ke tanah karena aku tidak sanggup menahannya lagi.
"May, kau sudah bekerja keras. Istirahat saja dulu," ucap temanku yang juga menghabiskan hidupnya di karantina ini. Dia sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahun. Dia sudah berada di tempat ini ketika berusia lima belas tahun.
"Aku baik-baik saja, Ed. Jangan cemaskan aku," ucapku. Padahal, telapak tanganku sudah memar dan kakiku bergetar.
"Kau yakin? Biar aku yang menggantikanmu," ucapnya lagi. Dia segera memungut kapak yang kujatuhkan. Namun, aku segera merebut kapak itu kembali.
"Lebih baik bekerja daripada dicambuk puluhan kali," ucapku sesaat sebelum melanjutkan pekerjaanku.
Ed tersenum getir melihat keadaanku. Dia segera menyusulku memotong kayu-kayu ini.
"Aku harap, kita bisa mendapat kesempatan kedua untuk memulai hidup baru," harap Ed sambil terus mengayunkan kapaknya.
"Aku sudah banyak berharap, tapi tidak terjadi apapun padaku," sahutku.
Ed melirikku sejenak lalu kembali fokus. "Tentu saja, kau tidak berbuat apa-apa untuk mewujudkan harapanmu itu."
"Bagaimana denganmu? Apa yang kau perbuat? Kau sama sepertiku, kan? Hanya menjalankan takdir tanpa ada tindakan untuk merubahnya?"
Laki-laki yang sudah kuanggap rekanku itu akhirnya terdiam sesaat. "Aku kagum, kau bisa menusuk seseorang hanya dengan kata-kata."
"Thanks," balasku disertai senyum tipis.
"Hei! Dilarang mengobrol ketika bekerja!"
Splash!
Cambuk itu mendarat di punggungku dan Ed. Ah, aku sampai bosan dengan rasa perih di punggungku ini. Akhirnya kami tidak melanjutkan obrolan karena pengawas itu terus mengawasi kami.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot And Twoshoot
RandomBerisi kumpulan oneshoot dan twoshoot dengan aneka genre.