Stabbed In Cafe

267 7 1
                                    

Stabbed In Café

“Oh astaga, aku lelah sekali,” gumamku sambil terus menyusuri trotar yang sedang sepi. Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, jam menunjukkan pukul sebelas malam. “Bagus, Pak Tua itu membuatku pulang larut malam. Dasar tidak punya perasaan.”

Tiba-tiba saja, kerongkonganku kering mendadak. Sontak aku menghentikan langkahku, mataku mencari-cari tempat yang sekiranya bisa kusinggahi untuk minum. Mataku tertuju pada sebuah café yang tampaknya masih buka. Lampu di depan café itu masih menyala. “Sebaiknya aku minum dulu, daripada aku mati kehausan di tengah jalan,” ucapku lalu melangkah mendekati café itu.

Setelah berada di dalam café itu, aku memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela. Hembusan angin dari jendela yang terbuka membuatku mengantuk. Tak lama kemudian, seorang lelaki yang kupikir adalah seorang pelayan café datang menghampiriku.

“Silahkan, Nona,” ucap pelayan itu.

“Terima kasih,” balasku dengan senyum ramah. Mataku menatap menu dan mencari minuman hangat. “Aku pesan coklat hangat, ya,” pintaku pada pelayan itu.

“Tentu, tunggu sebentar.”

Sambil menunggu pesananku datang, kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru café. Kudapati aku tidak sendirian. Kulihat seorang gadis yang sekiranya lebih tua dariku duduk di sudut café dengan berbagai buku dan kertas di atas mejanya. Kuputuskan untuk menghampirinya, setidaknya aku punya teman bicara.

“Permisi, kakak tampak sibuk. Apa yang kakak lakukan?” tanyaku berusaha sopan, lalu duduk di depan gadis itu.

“Oh? Aku sedang mengerjakan laporan, tugas dari dosenku. Tapi, foto untuk laporan ini belum lengkap,” ucap gadis itu. “Oh yes, namaku Nana, dan kau?”

“Aya Drevis, Kak.”

“Well, nice to meet you. Apa yang kau lakukan hingga selarut ini? Harusnya gadis SMA tidak di luar rumah sampai larut seperti ini.”

“Oh, aku ada tugas dan harus mencari jawabannya di perpustakaan. Tidak ada internet di rumahku, dan perpustakaan sudah tutup sejak sejam yang lalu. Dan di perjalanan pulang, aku mampir ke café ini,” ceritaku.

“Oh, gadis SMA memang sibuk.”

“Hei, bagaimana kakak tahu aku baru SMA? Bahkan aku belum bilang,”  tanyaku antusias.

“Tebakan beruntung,” jawab Kak Nana.

“Pesanan Anda, Nona,” ucap pelayan café itu seraya meletakkan segelas coklat panas serta kopi di atas meja. Tunggu, aku yakin aku tidak memesan kopi. Lalu ini?”
“Em, kopi?” dahiku pun berkerut melihat minuman berwarna hitam pekat itu.

“Itu punyaku,” ucap Kak Nana seraya mengangkat segelas kopi itu.

“Hei, Kak, kakak tak tertarik bergabung dengan kami?” tawarku pada pelayan café itu.

“Kau bicara padaku?” tanya pelayan itu sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Ya iya, kakak pikir aku bicara dengan siapa?”

“Okay, aku tertarik,” pelayan itu ikut duduk bersama kami. “Ngomong-ngomong, namaku Tedd. Siapa nama kalian, para gadis?”

“Aku Aya Drevis.”

“Call me Nana.”

“Okay, ada topik?”  tanya Tedd.

“Belakangan ini, banyak sekolah korban pembunuhan. Dan mayat korban ditemukan tanpa terdapat organ dalamnya,” ucap Kak Nana yang membaca salah satu artikel di Koran.

“Yeah, banyak pembunuh berkeliaran di kota ini,” sambung Kak Tedd.

“Um, tugas apa yang kakak kerjakan?” tanyaku pada Kak Nana berusaha menghindari topik seram itu.

“Laporan mengenai organ-organ dalam manusia,” jawab Kak Nana singkat.

“Hei, apa foto itu kau dapat dari internet?” tanya Kak Tedd.

“Tidak, internet tidak menyediakan foto yang lengkap. Terkadang kita harus mencarinya sendiri, kan?” ucap Kak Nana diselingi tawa kecil.

“Um?” tanyaku tidak mengerti dengan apa yang Kak Nana bocarakan.

“Yeah, kau harus mencari foto organ itu sendiri,” sambung Kak Tedd.

Tiba-tiba saja, Kak Nana mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sakunya. Kemudian, tatapannya tertuju pada Kak Tedd.

“Ada apa, Kak?” tanyaku polos.

“Aku hanya perlu beberapa detik untuk ….”

Tiba-tiba saja Kak Nana berdiri dari kursinya dan menusukkan pisaunya ke mata kanan Kak Tedd. Gadis itu menarik pisaunya dan menghujamkannya ke perut pelayan café itu. Aku terlonjak kaget dengan tingkah Kak Nana yang berubah mendadak itu. Segera aku berdiri dan berlari menjauhi meja itu.

“Aarrrgghh!” Kak Tedd menjerit kesakitan karena luka yang dia dapat dari Kak Nana.

“Jangan banyak bersuara, Tuan,” ucap Kak Nana sesaat sebelum menusukkan pisaunya ke tenggorokkan laki-laki itu. Beberapa detik kemudian, Kak Nana menendang perut Kak Tedd hingga dia tersungkur di lantai.

“Dek, bisa bantu aku?” tanya Kak Nana padaku.

“Apa?” tanyaku yang ketakutan.

“Bisa kamu ambil kamera di tasku, dan bantu aku memfoto organ orang ini?” pinta Kak Nana. Dia sibuk membelah perut korbannya dan memotong-motong bagian tubuh korban.

“Apa? Tidak!” tolakku.

Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari ke luar café dan menghindar dari tragedi pembunuhan itu.

“Yah, kalau begitu biar aku foto sendiri deh,” ucap gadis yang sedang mengorek isi perut korbannya.

Cekrek!

END

Oneshoot And TwoshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang