Bloody Roar

384 6 0
                                    

Insipration by: Nana
OS by: #Cursed_Girl

Bloody Roar

Malam itu, malam yang panjang bagiku. Walaupun sebenarnya sama seperti malam-malam sebelumnya, tapi yang ini kurasa yang terburuk. Biasanya mereka hanya adu mulut dan meninbulkan suara ribut di luar kamarku. Tapi malam ini, kok aku mendengar suara kaca pecah dan benda menghantam lantai, ya? Suara bising itu bahkan menembus telingaku yang sudah tersumpal ear phone, loh. 

“Jika yang di dalam rumah saja terganggu, how about the neighbor?” gumamku seraya melepas ear phoenku. Entahlah, moodku bahkan tak membaik ketika mendengarkan musik dari hand phoneku. Kulirik jam yang menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ah, kurasa aku akan telat tidur malam ini.

Terdengar lagi, suara kaca pecah. Kali ini diiringi dengan suara bentakan.

“Aku yang paling tua di sini, harusnya aku yang mendapat jatah lebih banyak!” 

Aku kenal suara itu. Itu suara Ron, kakak tertuaku. 

“Tapi aku anak kesayangannya, itu alasan mengapa dia memberikan aset lebih untukku. Sebaiknya kau terima saja nasibmu, dasar sampah!”

Disambut dengan suara Ken, adik dari Ron. Mereka adalah saudara tiriku. Aku sama sekali tidak dekat dengan mereka. Untuk apa aku dekat dengan mereka? Aku sendiri tak punya ketertarikan. Selama mereka tidak mengusikku, aku tidak ada masalah. 

“Harusnya kau sadar diri, aku yang lebih pantas!” suara lantang Ron menggema.

Sedangkan Ken tertawa sinis. “Orang sepertimu, really?”

Aku hanya menggelengkan kepala. Drama ini membuatku bosan terkadang. Ayahku baru saja wafat sekitar seminggu yang lalu, dan kedua anak kandungnya sibuk berebut warisan. Aku tahu aku juga dapat bagian, walau tidak sebanyak mereka. Untukku, warisan tidalah penting. Apa gunanya banyak warisan tapi keluarga tidak pernah damai. Ah sudahlah, sebaiknya kusumpal telingaku dengan ear phone lagi dan memutar musik pengantar tidur.
***

Paginya, aku bersyukur suasana sudah lebih tenang. Walaupun suasana di ruang makan masih sangat canggung. Atmosfer kedua kakak tiriku tidaklah baik. Jujur aku kurang nyaman, akhirnya memilih menjaga jarak. Sedangkan ibu, dia tak banyak bicara dan berkomentar. Tak ada satupun dari kami yang memulai pembicaraan. Suasan hening ini jujur tidak kusukai.

Aku tak bisa menceritakan detailnya. Setelah diskusi dingin, akhirnya warisan itu dibagi juga. Kakak tertuaku yang menerima paling banyak, selanjutnya kakak keduaku, dan terakhir adalah diriku. Walaupun bagianku paling sedikit, tidak masalah. Aku sudah bersyukur dengan apa yang kudapat. Maksudku, syukur masih diberi bagian, daripada tidak sama sekali. 

Tapi suasana itu tak berlangsung lama. Mereka masih adu mulut karena ingin mendapatkan bagian yang sama. Ibuku sudah terbiasa dengan suasana ini, tak berusaha melerai mereka. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kedua putranya yang gila harta duniawi. Aku jujur juga tidak betah. Sebaiknya aku meninggalkan ruang tengah ini sebelum berubah menjadi kapal pecah. 

Kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Mencari udara segar itu perlu, kan? Udara di rumah seperti karbon dioksida saja bagiku, ditambah suasana berisik seperti itu. Membuatnya menjadi rumah tak layak huni. Jika aku terus berada di sana, aku yang gila. 

Aku tiba di depan sebuah toko aksesoris. Entah kenapa aku tertarik dengan bandana pita yang tergantung di dalam toko itu. Tanpa sadar aku masuk ke dalam. Aku disambut sosok wanita muda berparas bak artis korea. Kubilang mirip artis korea karena kulitnya putih mulus. Waduh, aku bahkan kalah mulus loh. Yah, kok jadi minder begini sih. 

“Oh anak manis, selamat datang. Apa ada yang kau cari?” wanita itu mendekatiku. Dia menoleh ke arah bandana yang sedari tadi kutatap. “Oh, kau suka bandana itu?”

Oneshoot And TwoshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang