Monumen Kenangan

234 10 0
                                    

Monumen Kenangan

Prang!

Terdengar jelas olehku benda yang terbuat dari tanah liat itu hancur berkeping-kepng. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat ayah yang menampar ibu hingga ibu menangis. Kejadian seperti ini sudah biasa terjadi di keluargaku. Kalau bukan membicarakan soal masalah ekonomi, ya pasti membicarakanku. Ibu selalu meminta ayah berhenti minum-minum bersama teman-temannya. Ia juga selalu menyakan pada ayah, akan jadi apa aku saat besar nanti. Dengan kondisi perekonomian keluaragku yang seperti ini, aku tak yakin dapat menginjakkan kaki di kampus-kampus ternama di kotaku. Apalagi nilai-nilai di sekolahku juga tak mungin cukup untuk masuk ke jurusan apapun. Ah, beginilah hidup.

Cukup sudah aku melihat perdebatan itu. Cukup sudah aku melihat benda-benda melayang dan hancur. Cukup sudah aku mendengar namaku disebut ibu berkali-kali. Rasanya aku sudah muak dengan semua ini. Kuputuskan untuk kabur dari rumah, malam ini juga. Ya, tekadku sudah bulat. Mungkin ada kehidupan yang lebih layak kujalani di luar sana. Kuputuskan untuk kabur pada malam hari, ketika kedua orang tuaku sedang terlelap.

Pukul sebelas malam, satu jam sebelum aku melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Kuperhatikan pantulan diriku di cermin. Kulit sawo matang, seperti ayah. Mata coklat kehitaman, seperti ibu. Jas hitam yang sudah tua dan lusuh, celana jeans yang sudah robek di bagian lutut, dan ... kalung pemberian almarhum kakekku. Yah, beginilah aku. Mike, laki-laki 17 tahun yang tinggal di keluarga yang berada di ujung tanduk. Mike, laki-laki yang memutuskan kabur dari rumah untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Semoga saja keputusanku untuk meninggalkan keluargaku merupakan keputusan yang benar.
***

Srek ... Srek ...

Suara langkah kaki diseret menyusuri jalan raya yang sepi. Sudah beberapa lama aku berjalan, aku tak menemukan tempat peristirahatan. Setelah sekian lama berjalan, akhirnya aku menemukan sebuah gubuk tua yang terletak di pinggir jalan. Aku segera duduk di gubuk dan meluruskan kakiku yang pegal. Beberapa detik setelah aku duduk di gubuk itu, tetes hujan membasahi tanah. Saat itu aku bersyukur pada Tuhan karena tiba di gubuk sebelum turun hujan.

Krek ...

Terdengar suara pintu gubuk yang dibuka. Aku membalikkan badan dan melihat laki-laki yang kira-kira berusia tak jauh beda dariku berdiri menatapku. Di tangan kanannya terdapat sebuah gitar tua namun terawat.

"Ah .. Permisi, bolehkah aku menumpang di gubuk ini sebentar, sampai hujan reda?" tanyaku sedikit ragu.

Laki-laki itu menatap ke luar lalu menatapku. Niatnya untuk keluar gubuk ia batalkan karena melihat cuaca yang hujan. "Yah tentu, kau boleh masuk." Laki-laki itu membuka pintu gubuknya. Dengan perasaan senang, aku masuk ke dalam gubuk itu.

Laki-laki itu menyediakan kopi untukku."Kau butuh makanan?" tanyanya yang duduk di hadapanku.

Aku hanya menggeleng. "Tidak, terima kasih. Diizinkan menginap saja sudah lebih dari cukup," jawabku lalu mengangkat segelas teh itu.

"Jadi, siapa namamu?"

"Mike, Mike Hallac," jawabku. "Dan kau?"

"Hyde, Hyde Crimpson," laki-laki itu mengambil gitarnya yang ia sandarkan di dinding. "Kau suka bernyanyi? Mungkin aku bisa memainkan gitar dan kau bernyanyi."

Aku mengangguk setuju. "Boleh juga. Bagaimana kalau lagu ... In the Botle?" usulku.

Hyde bersiap memainkan gitarnya. Jari-jari lentiknya memetik senar gitar dengan lihainya. Nada yang ia hasilkan sungguh membuatku terpukau. Ditambah lagi dengan suaraku, lagu ini terasa lengkap. Aku berhenti di tengah lagu dan meminta Hyde ikut bernyanyi denganku. Hyde kembali memetik sinar gitar dan bibirnya ikut menyanyikan lagu klasik ini. Aku berhenti bernyanyi dan terus memperhatikan Hyde yang memainkan gitar sambil bernyanyi.

Oneshoot And TwoshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang