Aku kembali ke rumah sakit sepulang kantor. Bersama Mas Tanto. Aku memutuskan untuk merahasiakan peristiwa ini dari Mama agar tidak membuatnya khawatir. Kami mampir di mal untuk membeli pakaian. Gadis itu tidak mempunyai ponsel untuk menghubungi keluarganya, jadi aku yakin tidak akan ada yang membawakan pakaian ganti untuknya. Rumah sakit menyediakan pakaian untuk pasien tapi dia harus mengenakan sesuatu yang layak bila keluar dari sana.
"Pakaian seperti apa yang harus kita beli?" tanya Mas Tanto ketika kami sudah berada di bagian pakaian wanita.
"Entahlah." Aku belum pernah membeli pakaian untuk wanita sebelumnya. Tapi melihat dari gaya perpakaian gadis itu, aku mungkin harus membeli kemeja dan jins. Hanya saja, jins akan menyulitkan dengan kondisi kakinya yang seperti sekarang. Rok atau gaun akan memudahkan. "Apakah kita juga harus membeli pakaian dalam untuknya?" pikiran itu membuatku tidak nyaman.
"Dia pasti lebih suka mengganti pakaian dalam daripada pakaian luarnya." Mas Tanto tertawa. Sama sekali tidak menolong. "Kamu tahu ukurannya, kan?"
Aku menatapnya kesal. "Aku tidak percaya akan melakukan ini."
"Kamu hanya perlu memberikan ukurannya supaya pegawai di sini bisa memilihkan untuk kita," kata Mas Tanto. "Kita tidak mungkin mengaduk-aduk bagian pakaian dalam wanita, kan? Akan terlihat aneh."
Benar juga. Aku hanya perlu minta tolong pegawai wanita yang ada di situ untuk memilihkan pakaian. Entah kenapa hari ini otakku seperti malas diajak bekerja.
Gadis itu tengah tertidur saat kami masuk. Dia sudah mengenakan baju rumah sakit, tampak pulas dengan satu kakinya yang digips diletakkan di atas sebuah bantal.
"Dia cantik." Ucapan Mas Tanto yang kini sudah berdiri di dekat ranjang sambil mengamati gadis itu membuatku memutar bola mata. Di saat begini bisa-bisanya dia masih memperhatikan hal seperti itu.
"Apa hubungannya?"
Mas Tanto tertawa pelan. "Tidak ada. Hanya mengatakan apa yang aku lihat. Berantakan saja dia terlihat cantik, apalagi bila dalam keadaan normal."
"Menjauh dari situ, Mas. Kamu bisa membangunkannya."
Mas Tanto menurut. Dia menuju meja tempat barang-barang gadis itu tergeletak. Dia meraih kamera Leica itu dengan penuh minat. "Apa pekerjaannya?"
Aku kembali memutar bola mata. Aku menabrak gadis itu dan bukan berkenalan dengan normal. Dia juga tidak terlihat berminat berbagi kata denganku. "Entahlah. Itu tidak bisa diperbaiki, kan?"
Mas Tanto mengutak-atik kamera itu. "Sepertinya begitu. Tapi biar aku bawa dulu. Mungkin memorinya masih bisa diselamatkan."
Sampai Mas Tanto memutuskan pulang, gadis itu belum bangun. Aku dalam dilema antara tinggal dan ikut pulang. Tinggal berarti membuatku berada satu ruangan dengan gadis itu, dan itu tidak akan nyaman. Aku belum pernah berada satu kamar dengan gadis asing sebelumnya. Tapi meninggalkannya akan terlihat tidak bertanggung jawab. Aku sudah berjanji untuk kembali tadi, dan aku ingin dia tahu bahwa aku memang kembali.
Rasa tanggung jawab memenangkan pertempuran dalam diriku. Aku akhirnya tertidur di sofa yang ukurannya terlalu pendek untuk tubuhku lewat tengah malam, setelah melalui usaha yang cukup keras. Aku tidak mudah tertidur di tempat baru, terlebih dengan posisi tidak nyaman.
Aku terbangun oleh suara percakapan. Aku menutup kuap dengan sebelah tangan dan berusaha membuat mataku terbiasa dengan sinar matahari dari jendela kaca yang gordennya sudah disibakkan. Suara percakapan itu berasal dari perawat dan gadis yang kini sedang dipapah menuju ranjang, dari kamar mandi.
Aku juga harus membasuh wajah dan berkumur sebelum kembali ke apartemenku. Semenjak bekerja, aku memutuskan tinggal di apartemen dan biasanya pulang ke rumah di akhir pekan.
Gadis itu tengah bersandar di atas tumpukan bantal saat aku kembali dari kamar mandi. Perawat yang tadi membantunya sudah tidak ada.
"Itu pakaian untuk ganti kalau sebentar jadi pulang." Aku menunjuk kantung belanjaan di atas meja. "Semoga cocok."
"Aku sudah punya pakaian ganti kok." Gadis itu ikut melihat arah telunjukku. Sudah punya? Setahuku dia tidak menghubungi anggota keluarganya kemarin. Tadi malam pun tidak ada yang mengunjunginya. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku. "Aku minta tolong perawat untuk membelikannya."
"Oh..." Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Aku tidak memikirkan kemungkinan seperti itu. Kalau tahu, aku kan tidak perlu menahan malu membelikannya pakaian dalam.
"Kamu seharusnya tidak usah datang kembali."
Ucapan itu sedikit melegakan. Dia sudah menggunakan 'kamu' dan bukan 'bapak' yang kaku.
"Sudah tanggung jawabku." Aku mencoba merapikan rambut dengan tangan. Untung saja rambutku pendek. "Aku akan pulang sekarang. Aku akan kembali lagi nanti siang. Ada yang harus kubereskan di kantor." Aku tidak tahu kenapa harus memberikan penjelasan tentang apa yang akan kulakukan. "Kalau dokter sudah mengizinkan pulang, jangan pergi sebelum aku datang."
"Kamu tidak harus..."
"Tunggu sampai aku datang." Aku nyaris tersenyum saat melihat gadis itu memutar bola mata dan tampak tak berdaya. Dari interaksi kami yang minim aku sudah dapat menilai jika dia adalah gadis yang terbiasa mandiri. Ketidakberdayaan ini pasti membuatnya kesal.
Aku pasti sudah sedikit sinting saat merasa menyukai situasi itu. Dan hei, Mas Tanto benar, meskipun wajahnya ditempeli perban dan berbaret-baret, gadis itu terlihat cantik. Astaga, aku bukannya sedikit sinting, tapi aku benar-benar sinting bisa punya pikiran seperti itu di saat seperti ini.
Setelah mandi dan mengganti baju di apartemen, aku mampir sebentar di kantor untuk menandatangani beberapa berkas yang disodorkan sekretarisku. Sebenarnya aku punya dua pertemuan dengan konsultan yang menangani renovasi salah satu hotel kami, tapi untung saja Mas Tanto mau menggantikanku.
Aku keluar kantor dengan menenteng dua kantung berisi kamera Leica, macbook dan ponsel baru sebagai ganti barang gadis yang sudah dicium ban mobilku. Aku meminta sekretarisku membelikannya kemarin siang setelah memberitahu spesifikasinya.
Aku mampir di tempat jaga perawat sebelum masuk ruang rawat, dan mereka memberitahu jika gadis itu sudah bisa pulang. Dia hanya perlu rawat jalan untuk mengganti perban dan memantau kondisi kakinya. Aku segera membereskan administasi pembayaran rumah sakit. Mataku sempat melihat namanya. Renata Winata.
Gadis itu sudah mengganti pakaian rumah sakitnya saat aku masuk ke dalam kamar. Dia tidak mengenakan pakaian yang kubeli. Kantung belanjaanku malah masih tergeletak manis di atas meja. Bel dalam kepalaku lantas berdering. Gadis ini bukan orang yang mudah dihadapi.
"Kita pulang sekarang?" tanyaku berbasa basi. Aku tahu dia sudah siap untuk meninggalkan rumah sakit.
"Aku yang akan pulang." Dia menekan bel dan seorang perawat kemudian muncul. "Bisa minta tolong didorong sampai ke depan, Suster?" matanya menatap kursi roda di dekat ranjang.
Ini sedikit menjengkelkan. Dia sebenarnya tidak perlu bantuan perawat untuk itu. Ada aku di sini. Laki-laki yang siap diberdayakan, yang meninggalkan pertemuan penting karena merasa bertanggung jawab padanya.
Aku terpaksa mengikuti dari belakang. Dengan tas, kantung belanjaan, dan kruk. Seperti ibu rumah tangga yang kelebihan barang belanjaan. "Tunggu di sini," kataku ketika sudah sampai di depan pintu keluar. "Aku akan mengambil mobil."
"Kamu bisa menelpon taksi untukku."
Kenapa dia suka sekali menyinggung egoku? Berusaha membuatku terlihat seperti lelaki tak bertanggung jawab yang menyebalkan? Aku berusaha menahan kejengkelan yang entah kenapa juga harus muncul. "Tunggu!" Aku melangkah cepat menuju tempat parkir tanpa menanti responnya. Laki-laki macam apa aku bila melayani perdebatan dengan gadis putus asa yang sudah kubuat tidak bisa bergerak bebas?
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Let You Go (Terbit)
General Fiction(Sudah Terbit) Apa yang kurasakan pada gadis itu bukanlah cinta pada pandangan pertama, tapi tidak butuh waktu lama untuk merasa terikat padanya. Hanya saja, mendapatkannya jelas bukan perkara mudah karena dia tidak pernah terlihat suka padaku. Ti...