Dua Belas

15.4K 2.5K 50
                                    

Part-nya pendek aja, soalnya ini up date kedua minggu ini. Anggap saja bonus. Selamat membaca.

**

AKU mengurai pelukan setelah beberapa lama. Saat menyadari tubuh Renata menegang dalam rangkumanku. Masih memegang kedua lengan atasnya, aku menjauhkan tubuh. Mengamati gadis itu saksama. Tidak ada yang berubah selain kulitnya sedikit legam. Dia masih sekurus saat terakhir kulihat.

"Kamu baik-baik saja?" Renata melepaskan tanganku dari lengannya.

"Apa?" seharusnya aku yang bertanya seperti itu padanya. Dia yang diterjang ombak. Dia yang apartemennya terbakar. Untuk sebagian orang, kejadian seperti itu bisa menimbulkan trauma.

"Tingkahmu aneh. Main peluk seenaknya." Dia memang benar Renata. Khayalanku terlalu tinggi. Kupikir dia akan terharu menerima pelukanku. Dan suasana romantis akan terbangun dari sana. "Kamu habis minum?" sambungnya lagi. Gelembung khayalanku benar-benar pecah. Gadis menyebalkan!

"Aku hanya senang melihatmu." Aku menyusulnya masuk ke apartemen. "Aku berusaha mencarimu setelah kecelakaan speed boat dan kebakaran apartemenmu."

Renata berbalik, terkejut. "Dari mana kamu tahu kalau speed boat kami kecelakaan?"

"Ada di berita. Dan aku mengikuti perkembangannya di detik com."

Sikap tubuh Renata seperti tidak nyaman. Mungkin karena dia menduga kalau aku sudah tahu pekerjaannya. "Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Aku tadi ketemu Dito di mal," ujarku terus terang.

"Kamu mau minum apa?" Dia kembali menuju lemari es. "Kami hanya punya jus. Apel atau jeruk?"

"Kami?" aku lebih tertarik pada kata itu daripada memilih antara jus apel atau jus jeruk.

"Ini apartemen Dito. Aku hanya numpang di sini."

Aku lalu mengalihkan pandangan, meneliti apartemen yang luasnya sama persis dengan apartemenku. Seharusnya aku sudah menduga. Tapi aku tadi terlalu senang karena bertemu Renata.

Warna merah dan hitam mendominasi apartemen itu. Maskulin. Tidak seperti apartemen Renata yang nyaris kosong, Dito jelas mengisi apartemennya dengan teliti dan cermat. Banyak foto yang menempel di dinding. Bukan foto diri, tentu saja. Aku tidak terlalu mengerti fotografi, tapi sepertinya Dito juga fotografer seperti Renata.

Rasa tidak nyaman kembali menggayuti hatiku. Apartemen Dito adalah tempat paling masuk akal ditempati Renata kalau dia butuh tumpangan. Tapi aku tidak menyukai gagasan itu. Dito terlihat suka padaku, dia tidak keberatan aku mendekati Renata. Tapi dia laki-laki. Kalau dia tidak menyukai Renata sekarang, siapa yang menjamin perasaannya tidak akan berubah karena mereka terus-menerus bersama. Kerja bersama, dan sekarang tinggal bersama.

"Aku juga tinggal di lantai ini," kataku. "Hanya beberapa pintu dari sini."

Renata mengulurkan gelas berisi jus jeruk padaku. "Lalu?"

Ya, lalu apa? Tidak mungkin kan aku menyuruhnya mengemas barang-barangnya dan pindah ke apartemenku betapa pun aku menginginkannya? Dia kenal Dito entah sudah berapa lama. Sedangkan aku?

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Hanya memberitahu kalau kita bertetangga. Kita bisa bertemu setiap saat."

Renata memutar bola mata. "Dan itu menyenangkan?" nadanya sarkastik.

Aku menarik napas panjang-panjang. Terima saja, Yu. Dia memang seperti itu. Kamu jatuh cinta karena dia berbeda dengan gadis lain, kan? Jangan mengeluh sekarang.

"Aku tidak akan jauh lagi saat membawakanmu makan malam."

"Kami jarang makan di luar. Dito suka memasak."

Mengapa sih dia suka sekali membuat semuanya terasa sulit? "Jadi Dito masak apa malam ini? Aku belum makan malam." Aku mengundang diriku sendiri duduk di depan meja bar. Bertekad untuk tinggal selama mungkin.

"Menyusahkan orang lain memang hobimu, ya?" Tak urung Renata mengeluarkan pinggan berisi daging teriyaki dari dalam kulkas. Menyalakan microwave dan memasukkan makanan itu di dalamnya.

Aku menerima piring yang diulurkannya. Memintanya berhenti setelah menyendok dua sendok nasi dari rice cooker. "Cukup. Kamu tidak makan?" tanyaku.

"Menurutmu aku belum makan jam setengah sepuluh?" lagi-lagi jawaban sindiran. Tapi aku tidak peduli.

Dito benar-benar pintar memasak. Daging teriyakinya enak sekali. Aku juga akan berhenti makan di luar kalau punya kemampuan memasak seperti dirinya.

Aku membawa gelas jusku ke ruang tengah setelah makan. Menyusul Renata yang sudah lebih dulu berada di sana. Dia duduk di sofa depan televisi. Sofa panjang. Aku tersenyum dalam hati. Kesempatan. Aku lalu mengambil tempat di sisinya. Dekat. Baiklah, sangat dekat.

Renata seperti tersengat lebah saat lengan kami bersentuhan. Reaksinya berlebihan, membuat aku ikut terkejut.

"Ada apa?" tanyaku cepat.

Dia menatapku aneh. "Sofa ini kosong di sebelah situ." Dia menunjuk sisi kiriku. "Kalau kita sekarang berada di perahu, duduk dengan posisi ini bikin perahunya terbalik. Bebannya tidak seimbang."

Astaga! Apakah aku tadi sudah bilang kalau dia menyebalkan? Kalau sudah, akan kuulangi lagi dengan senang hati.

Aku belum tahu harus menjawab apa saat bel pintu berdering. Berulang-ulang seperti disengaja. Renata segera bangkit. Seperti lega bisa melepaskan diri dariku. Dahinya lantas berkerut saat melihat kamera penghubung. Memangnya siapa yang datang? Kenapa dia lantas melipat tangan di depan dada, alih-alih membuka pintu?

Jawabannya menyusul saat Dito muncul dari balik pintu sambil meringis. "Apakah aku mengganggu? Kalau iya, aku akan keluar lagi."

Renata sekarang berkacak pinggang. "Kenapa kamu membunyikan bel saat masuk di apartemenmu sendiri?"

Ringisan Dito berganti senyum jahil. "Sekadar peringatan. Siapa tahu ada adegan yang tidak boleh kulihat. Kalau masuk tanpa aba-aba kan bahaya."

Mau tidak mau aku ikut tersenyum dengan lelucon itu. Tapi Renata tidak. Wajahnya terlihat canggung. Entah apa yang dipikirkannya.

"Aku mau tidur sekarang." Renata berbalik.

Dito yang sudah di dekatnya menarik tangannya. "Ya ampun, begitu saja ngambek. Kasihan Bayu, kangennya belum juga hilang." Dia menoleh padaku. "Iya kan, Yu?"

Sekarang aku yang salah tingkah. Serangan Dito terlalu frontal. Aku harus jawab apa kalau sudah begini? Mau bilang iya, takut Renata malah kabur. Bilang tidak, kan berarti bohong. Bohong dosa kan, ya?

"Aku benar-benar mengantuk." Renata melepaskan cekalan Dito di pergelangan tangannya. Dia berbalik menuju salah satu pintu tanpa menoleh. Meninggalkan aku dan Dito.

Dito menggeleng melihatku. "Dia memang seperti itu, Yu. Pertebal kesabaran saja kalau memang niat."

Saat melihat mata Dito, aku sadar kalau dia tahu perasaanku pada Renata. Dia laki-laki. Ini hal yang bisa dibaca sesama lelaki tanpa dibicarakan. Tapi itu melegakan. Melihat dia berdiri di sisiku. Mendukung.

"Aku juga harus pulang."Aku berdiri. "Aku tinggal di lantai ini juga. "2516."

"Wah, ternyata kita bertetangga!" Dito berseru senang. "Pancake-ku buatanku enak. Datanglah besok pagi kalau mau coba."

"Tentu saja," sambutku cepat.

Aku tidak akan melewatkan kesempatan yang bisa membuatku berada di dalam apartemen ini. Apalagi undangan terselubung dari sekutu yang baru saja kudapatkan. Ya, kurasa aku memang dilahirkan lengkap dengan peruntungan yang baik.

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang