Aku baru kembali dari perjalanan selama empat hari di Ternate. Apalagi jika bukan meninjau pengembangan resor. Perintah Papa yang tidak bisa dibantah karena Mas Tanto ke Mentawai.
Selama itu pula aku tidak bertemu Renata. Beberapa kali aku meneleponnya. Dijawab dengan kalimat pendek-pendek. Lebih mirip interogasi daripada percakapan. Aku bertanya dan dia menjawab.
Dan hari ini, setelah menyelesaikan pekerjaan, aku segera melarikan mobil menuju apartemennya. Ada rasa rindu yang tidak kumengerti yang datang merayapi hati. Bukan hal menyenangkan untuk dirasakan karena aku tahu pasti dia tidak punya rasa yang sama denganku.
Aku seorang pria dewasa yang sudah pernah terlibat dalam hubungan asmara dengan wanita, jadi ketertarikan pada Renata memberi sinyal jelas tentang perasaanku pada gadis itu. Hanya saja, kuharap ini bukan rasa serius. Hanya penasaran karena dia memperlakukanku berbeda dari semua gadis lain yang kukenal.
Tidak seperti biasanya, aku hanya menekan bel sekali untuk membuat Renata menguakkan pintu. Apakah dia juga rindu padaku sampai dia setergesa itu? Jelas hanya aku yang keluar masuk di apartemennya. Jadi, dia tahu akulah yang datang saat ini. Aku tadi juga sudah mengirimkan pesan agar dia tidak perlu memasak atau memesan makanan, karena aku akan datang membawa makan malam. Aku meringis dalam hati memikirkan kemungkinan dia merindukanku. Ya, aku terdengar menyedihkan.
"Hai!" Aku memamerkan senyum sambil mengangkat kotak pizza berukuran besar yang kubawa.
Renata hanya melihatku sekilas sebelum berbalik. Memangnya apa yang kamu harapkan, Yu? Dia merentangkan tangan dan memelukmu, begitu? Aku mencoba mengusir kecewa dan mengikutinya masuk.
"Siapa, Mbul?"
Suara itu menghentikan langkahku. Ada orang lain di sarang Renata? Apa tadi dia bilang? Mbul? Bagian mana dari nama gadis itu yang memungkinkannya bisa dipanggil dengan sebutan seperti itu?
Aku hanya perlu masuk beberapa langkah untuk bisa melihat si empunya suara. Sebuah punggung kokoh yang membelakangi kami karena sedang sibuk di depan kompor. Wangi masakan serta-merta menyerbu hidungku. Aku tidak tahu apa pun soal memasak, jadi rasa iri segera menguasaiku. Aku kalah satu langkah.
Apakah dia si Onyet, kera, atau gorilla itu? Kemungkinan salahnya sangat tipis. Rasa tidak suka makin menguasaiku saat melihatnya berbalik dan tersenyum lebar. Kulitnya memang sedikit legam, kurasa karena terlalu sering bermandikan sinar mentari, tapi tidak ada bulu yang menjadikannya mirip monyet. Aku bukan tipe yang suka menilai pria lain, tapi orang itu tampan. Aura lelakinya terpancar jelas. Dengan tubuh sebagus itu, dia jelas lawan yang tidak kamu inginkan berada di ring yang sama untuk memperebutkan seorang wanita.
Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Pertemuan ini sama sekali tidak pernah kuprediksi. Tapi aku lantas ikut menarik sudut bibir untuk mengimbangi keramahannya.
"Hai, masuklah!" pria itu melambai ke arahku, seolah dia adalah tuan rumah. "Aku akan menyelesaikan ini dulu." Dia menoleh pada Renata yang masih mematung di atas kruk. "Piringnya, Mbul!"
Aku bergerak cepat menuju dapur. Piring diletakkan di laci atas, agak sulit untuk dicapai Renata dengan kondisinya sekarang. Aku sudah hafal dapurnya. Aku meletakkan kotak pizza di atas meja tinggi sebelum mengambil piring.
"Kok cuma dua?" pria itu mendekat setelah mematikan kompor. "Satu lagi biar kita makan bersama. Kamu juga belum makan, kan?" dia meletakkan wajannya di atas meja, mengusap tangannya dengan lap sebelum mengulurkannya padaku. "Aku Dito." Nama yang tidak ada hubungannya dengan mahluk berbulu.
Keramahannya mengejutkanku. Aku buru-buru membalas genggamannya yang kuat setelah meletakkan sebuah piring lagi. "Bayu." Aku bingung melanjutkan. "Aku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Let You Go (Terbit)
General Fiction(Sudah Terbit) Apa yang kurasakan pada gadis itu bukanlah cinta pada pandangan pertama, tapi tidak butuh waktu lama untuk merasa terikat padanya. Hanya saja, mendapatkannya jelas bukan perkara mudah karena dia tidak pernah terlihat suka padaku. Ti...