Sembilan Belas

16.6K 2.8K 164
                                    

Semoga menghibur.

**

Renata tidak terlalu suka makan di luar. Menurutnya pemakaian lemak dan garam di restoran di luar batas kewajaran. Tidak sehat. Jadi dia mengusulkan belanja untuk mengisi lemari es di apartemenku dengan bahan makanan.

Belanja bahan makanan di supermarket itu ternyata menyenangkan, meskipun aku hanya bertugas mendorong troli. Renata membeli banyak makanan. Kering dan basah. Menurutku itu berlebihan, tetapi aku tidak akan protes. Semoga saja dia lupa kalau dua minggu lagi dia harus pergi bertualang, karena kurasa bahan makanan yang dibelinya cukup untuk sebulan. Itu harapan kosong, aku tahu. Aku hanya menghibur diri. Renata sangat bersemangat dengan perjalanannya.

"Jangan yang itu!" Renata mengembalikan camilan yang baru kumasukkan di troli. "MSG dan garamnya banyak. Aku tahu kamu rajin olahraga, tetapi membiasakan makan makanan yang sehat juga keharusan."

Aku menatap sayang pada camilan yang kini kembali ke rak pajangan. Itu camilan kesukaanku. Dengan soda dingin, aku bisa menghabiskan dua kemasan besar sekali duduk, sambil menonton pertandingan sepakbola di televisi.

Namun membantah Renata tidak mungkin kulakukan sekarang. Dia melarang karena peduli, kan? Kami bisa menegosiasikan camilan favoritku itu kelak. Cara memenangkan hati perempuan adalah dengan mengikuti semua perintah dan keinginannya. Dan aku akan melakukan trik itu.

Aku juga mengembalikan botol-botol soda berukuran besar saat Renata menggeleng tegas. "Satu saja, Bayu. Sesekali boleh, tetapi tidak boleh jadi air minum. Gula bisa membuat umurmu pendek."

Tentu saja aku tidak mau berumur pendek. Aku harus hidup lebih lama daripada kebanyakan orang untuk menikmati menghabiskan hari bersama Renata. Cukup lama untuk menyaksikan cucu-cucu kami tumbuh besar dan menikah. Eh, pikiranku kejauhan, ya? Aku bahkan belum tahu bagaimana cara untuk mengajaknya menikah. Namun laki-laki yang punya visi memang harus berpikir jauh ke depan. Merencanakan semua dengan matang.

Sampai di apartemen, Renata menyusun belanjaan kami. Bahan makanan basah diatur rapi dalam lemari es, sedangkan yang kering disusun dalam rak. Dia terlihat seperti istri yang menikmati waktunya di dapur. Kami akan menjadi pasangan yang sempurna nanti. Pasti, hanya masalah waktu. Setelah aku berhasil mencuri hatinya.

"Kamu mau makan apa nanti malam?" Renata meletakkan dua gelas air putih di meja bar. Dia menyusulku duduk. Pekerjaannya mengatur belanjaan sudah selesai.

"Aku makan apa saja yang kamu masak." Aku menyeringai memamerkan gigi. Senyum mungkin bisa melunakkan hatinya. Semua cara harus dicoba. "Kamu kan tahu aku tidak bisa masak."

"Aku yang akan memasak selama aku di sini." Renata menatapku dari balik gelas yang dipegangnya di depan wajah. "Hitung-hitung bayar biaya numpang.'

"Kamu tidak berutang apa-apa." Aku tidak suka dia mengungkit-ungkit soal balas-membalas. Keberadaannya di sini menguntungkan aku.

"Salad?" Renata tersenyum jail. Dia tertawa saat melihatku melotot. "Aku bergurau, Bayu! Aku tahu kalau ternak di dalam perutmu itu sejenis karnivora. Kita makan pasta seafood, kok."

Ya ampun, aku kira dia sungguh-sungguh menyuruhku makan sayuran saja untuk makan malam. Kalau itu sampai terjadi, aku akan menyelinap ke kafe yang buka 24 jam di bawah untuk mengisi perut setelah dia tidur.

**

Setelah hampir seminggu, aku sudah terbiasa dengan wangi kopi yang menguar begitu aku membuka pintu kamar. Renata sudah siap dengan sarapan kami. Kopi dan dua sandwich untukku, serta jus untuknya sendiri. Bukan jus kemasan. Dia membuat jus dari buah segar. Katanya jus kemasan mengandung banyak gula. Dia meminummya hanya kalau tidak ada pilihan. Ada-ada saja.

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang