Lima belas

23.7K 2.7K 191
                                    

Hehehe...maafkeun, ya. Ternyata update-nya lebih lama daripada yang kupikir. Sinyal sedang ngajak berantem. Anyway, selamat bersenang-senang dengan Bayu yang baperan. Seperti biasa, cek typo dan kalimat tidak efektif karena tadi tidak sempat disunting.

**

Renata memang gadis mandiri yang bertanggung jawab. Setelah meeting dan teman-temannya pulang, dia segera membereskan kekacauan yang para lelaki itu tinggalkan. Narendra tadi menawarkan bantuan tapi segera ditolak gadis itu.

Aku lalu membantunya beres-beres. Mencuci peralatan makan, membersihkan dapur, merapikan kursi tamu, dan menyedot debu.

"Ehm, Naren tinggal di mana?" tanyaku setelah kami sudah selesai dengan semuanya, dan duduk bersisian di meja bar dengan botol jus di tangan.

"Biasanya numpang di apartemen adiknya kalau sedang di Jakarta. Tapi adiknya baru saja menikah beberapa bulan lalu, jadi dia pasti tinggal di rumah orangtuanya."

"Dia tidak punya tempat sendiri?" Dito saja yang sepertinya hanya anggota tim Narendra bisa membeli apartemen di gedung ini. Aku yakin kemampuan finansial Narendra jauh lebih baik daripada Dito.

"Apartemennya di D.C," jawab Renata sebelum menenggak jusnya dalam tegukan besar.

"Washington?" Aku memperjelas. "Amerika?"

"Iya. Kantor pusat National Geographic kan di sana. Dia pegawai tetap, bukan freelancer seperti kami. National Geographic tidak menerima sembarang orang untuk bekerja. Kami bisa ikut program ini karena Naren kekurangan anggota untuk peliputan di Asia. Terutama Maluku utara, juga daerah konflik di Asia tengah dan Asia Selatan."

Wow, aku rupanya berhadapan dengan orang-orang yang luar biasa. "Dia... dia belum menikah?"

"Belum. Mengikat komitmen dengan seseorang seperti dia bukan hal mudah." Renata melompat dari kursinya. "Mengapa kamu bertanya soal Naren? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu bukan gay, kan?"

Aku bertanya karena dia terlihat begitu perhatian pada Renata. Aku ingin tahu karena dibandingkan yang lain, dia menjadi lawan yang paling sulit dikalahkan kalau ikut maju dalam perebutan hati Renata. Jujur, kepercayaan diriku sedikit rontok melihat pembawaannya. Kalem, percaya diri, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab. Kombinasi semua sifat yang semua perempuan di muka bumi ini inginkan. Belum lagi tampangnya yang terlihat sangat maskulin dengan kulit sedikit legam.

"Memangnya aku tidak boleh bertanya tentang temanmu yang baru saja kukenal?"

Renata mengangkat bahu. Dia berjalan menuju pintu. "Terima kasih sudah membantuku seharian, ya. Sekarang sudah waktunya pulang."

Waduh, aku tidak ingin dia pergi sekarang. Aku harus mencari jalan untuk menahannya.

"Bukannya Dito dan kekasihnya masih ada di sana? Kamu bisa tinggal di sini sampai gadis itu pergi."

Renata berbalik dan memberiku senyum manisnya. "Hei, aku memang menyebalkan, tapi aku juga tahu batas. Aku meminta bantuanmu karena kamu juga pernah menyusahkan karena menabrakku. Jangan salah paham, aku tidak dendam. Aku hanya belajar dari pengalaman. Kamu tidak pernah terlihat keberatan dimanfaatkan. Kamu malah seperti bola karet yang selalu memantul kembali setelah dilemparkan dengan kuat ke dinding."

Tentu saja aku tidak keberatan dimanfaatkan olehnya. Karena aku punya pamrih. Aku mau hatinya. Sayang sekali aku harus mengatakannya, tapi, Nona, tidak ada yang gratis di dunia ini.

"Aku memang seperti bola karet. Dan aku suka dimanfaatkan. Jadi kamu boleh tinggal di sini tanpa merasa sungkan."

"Aku hanya ganti pakaian di apartemen Dito. Aku punya janji di luar."

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang