Enam Belas

14.6K 2.6K 139
                                    

Bersih-bersih sarang laba-laba yang mulai banyak di lapak ini. Selamat membaca.

**

Aku mengamati Renata yang sibuk menjilati sendok es krim. Melihatnya seperti itu, rasanya tidak percaya kalau dia punya tenaga luar biasa untuk mengelilingi dunia. Dia terlihat seperti anak kecil yang gampang dipuaskan dengan es krim dan kembang gula saat ngambek.

"Mau tambah?" tawarku. "Kotaknya aku bawa ke sini? Di kulkas masih banyak." Aku berusaha mengalihkan perhatian dari sendok beruntung yang terus dijilat Renata. Kalau bisa berganti tempat, aku mau jadi sendok itu sekarang.

Renata menelengkan kepala melihatku. "Kamu punya masalah dengan bentuk tubuhku? Sepertinya kamu berusaha membuatku terlihat gemuk."

Astaga, dia pintar sekali mencari celah untuk membuatku terlihat bodoh.

"Bukan begitu, maksudku..."

"Aku tahu apa maksudmu." Renata berdecak. "Kamu terlalu serius. Aku tidak mau tambah. Akhir-akhir ini aku jarang olahraga. Kalau benar bisa masuk Aleppo, aku butuh tenaga ekstra untuk menghindari peluru. Ya, walaupun bom dan peluru di Aleppo tidak segencar di Raqqa."

"Kapan kalian berangkat?" Aku benci harus menanyakannya. Aku harap dia tidak usah ke mana-mana. Di Jakarta banyak pekerjaan yang bisa dilakukannya. Bayaran fotografer profesional yang sudah punya nama luar biasa mahal. Sayangnya aku tidak bisa mengutarakan pendapatku. Bentuk hubungan kami tidak memungkinkan aku protes pada pekerjaan dan kesibukannya. Dan kurasa, memotret model atau foto prawedding bukan hal yang ingin Renata lakukan.

Renata mengangkat bahu. "Tunggu Naren dan krunya dari Geography Channel selesai dengan dokumen. Kalau masih bisa masuk dengan legal lebih baik, kan?"

"Memangnya kamu pernah masuk illegal di Negara orang?" Astaga, jangan bilang dia pernah melakukannya. Berurusan dengan imigrasi negara asing itu mengerikan.

Renata meringis. "Pernah, dari Thailand ke Myanmar. Aku terjebak dengan para backpacker yang kehabisan uang. Aku ikut memanen bunga popy selama beberapa hari di bawah pengawasan orang-orang sangar bersenjata. Seru juga." Dia kembali menjilati sendoknya yang sudah bersih, seolah hanya sedang bercerita tentang petualangannya di mal untuk menemukan pakaian yang disukainya.

Seru? Aku hampir terlonjak dari tempat duduk. Apanya yang seru? Sewaktu-waktu bisa diberondong peluru tidak ada seru-serunya. Mengerikan, iya.

"Bunga Popy?" tanyaku tidak mengerti.

Renata berdecak mencemooh. "Opium. Segitiga Emas terkenal karena produksi opium mereka. Meskipun akhir-akhir ini pertanian opium mulai bergeser ke Afganishan." Dia melepas sendoknya. "Bunga popy itu sangat indah. Siapa yang sangka kalau keindahan seperti itu bisa membunuh banyak orang."

"Kamu tidak takut?" tanyaku bodoh.

"Aku takut banget." Renata menerawang, membayangkan. "Aku gemetaran, takut mereka merusak kameraku. Untungnya tidak. Mereka hanya menyimpannya supaya aku tidak sembarangan mengambil gambar. Membayangkan kameraku berakhir di sungai Mekong benar-benar horror."

Maksudku dengan kata takut tidak ada hubunganya dengan kamera. Aku tidak berminat lagi bicara soal segitiga emas. Jadi aku melepas topik itu.

"Orangtuamu tidak keberatan kamu keliling dunia?" Renata tidak pernah bicara tentang keluarganya. Mumpung dia sedang jinak, sekalian saja kutanyakan. Kalau suka anaknya, harus tahu orangtuanya juga, kan?

Renata mengangkat bahu. Pandangannya seketika berkabut. "Papa juga seorang fotografer. Dia selalu mengajakku ikut bersamanya kalau aku sedang libur."

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang