Sebelas

15.9K 2.6K 127
                                    

Alasan penulis khilaf dan up date cerita di luar waktu yang ditentukan itu macam-macam. Ada yang karena gak tahan diteror pembaca untuk up date, ada yang pengin buru-buru nuntasin ceritanya, atau tiba-tiba bosan dengan rutinitas. Banyak alasan sih. Kalau alasankku up date cerita ini senin padahal jadwalnya akhir pekan? Alasannya murahan. Karena sejak pagi notif watty sepi nih. Padahal sebulan terakhir lumayan rame. hehehe...beneran murahan, kan? Pas buka laptop, cerita ini ternyata masih punya stok. Ya sudah, diposting saja untuk memancing notif. Hahaha... selamat membaca.

**

Aku mengikuti perkembangan tenggelamnya speed boat tim ekspedisi National Geography itu melalui situs berita online terpercaya yang rajin meng-up date informasinya. Setelah senam jantung sehari penuh, akhirnya aku bisa bernapas lega. Tim SAR akhirnya menemukan Renata Winata di salah satu pulau kosong yang yang ada di sekitar tenggelamnya speed boat.

Seharusnya aku sudah menduganya. Renata, meskipun badannya cuma selembar, tapi dia kuat. Kalau ada gadis yang bisa bertahan di liarnya gelombang, atau di tengah hutan belantara, dialah orangnya. Kalau tidak, dia tidak akan berani mengunjungi Serengiti dan bertatapan dengan macan di sana. Atau menyusuri Atacama yang nyaris tidak punya tanda-tanda kehidupan. Renata-ku jelas bukan sembarang gadis. Dan aku tentu saja tidak jatuh cinta pada sembarang gadis. Hanya gadis istimewa yang bisa mendapatkan hatiku. Ya...ya, lagi-lagi aku lebay, tapi aku tidak peduli. Aku bahkan membiarkan Mas Tanto mengejekku.

"Dengan pekerjaan seperti itu, Yu," katanya setelah ikut menarik napas lega begitu membaca berita Renata sudah ditemukan dengan selamat. "Aku yakin dia jauh lebih tangguh daripada kamu. Berlari lebih cepat darimu, mendaki mendahuluimu, dan berenang lebih laju darimu. Kamu yakin bisa menghadapi gadis seperti itu?"

"Aku tidak masalah dengan gadis seperti itu," aku membalas ejekan Mas Tanto sambil tersenyum. "Berhentilah mencoba membuatku menyerah."

"Dia jelas berbeda dengan mantan-mantanmu."

"Semua yang terbaik berada di ujung, Mas. Pemenang perlombaan ditentukan setelah garis finis, bukan saat perlombaannya dimulai."

"Ala...kamu bisa berteori seperti itu sekarang. Kemarin hampir menangis darah saat tahu Renata hilang. Padahal jadian saja belum. Kamu yakin dia juga suka padamu?"

Kalau gadis yang dimaksud dalam ejekan Mas Tanto bukan Renata, aku lantas akan menjawab tentu saja dengan lantang. Tapi Renata, walaupun sudah lebih ramah padaku, dia tetap saja menjaga jarak. Tidak memberi kesan tertarik padaku.

"Laki-laki harus optimis, kan?" Sebenarnya ini lebih memotivasi diri sendiri daripada menjawab pertanyaan Mas Tanto.

"Hidupmu tidak akan rumit kalau kamu menerima Ruby."

Aku mendelik. "Saran yang bagus, Mas. Tapi aku terobsesi pada hidup yang rumit."

Mas Tanto tertawa. "Doaku bersamamu, Bro. Kita bisa memancing bersama untuk menghiburmu kalau kamu nanti patah hati."

"Aku tidak suka memancing," sahutku sebal.

"Dan gadismu bisa menghabiskan waktu seharian bermain dengan ikan? Hmm, kalian cocok sekali."

Entah mengapa Mas Tanto suka sekali mengejek soal perbedaanku dengan Renata. "Aku akan membuatnya jatuh cinta padaku. Lihat saja nanti."

"Aku suka semangatmu, Bro. Dengan semangat seperti itu, kamu bisa membuat pundi-pundi uang Tuan Subagyo bertambah banyak. Kamu pasti bisa menjaga bisnis Tuan Subagyo dengan baik, sehingga aku bisa berkeliling dunia mengejar pelangi dengan tenang."

Aku tidak suka jika Mas Tanto kembali membicarakan keinginannya meninggalkan perusahaan untuk memanggul ransel bututnya keliling dunia.

"Mas tidak bisa melakukannya. Tuan Subagyo tidak akan mengizinkan."

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang