Empat Belas

17.8K 2.5K 72
                                    

Typo dan kalimat tidak efektif masih betebaran. Belum  diedit  maksimal. Mohon dikoreksi. Terima kasih. Selamat membaca.

**

Aku menawari Renata mandi, karena dia tampak enggan pulang ke apartemen Dito.

"Kamu bisa pinjam kausku," kataku. Kalau dia benar-benar kembali ke apartemen Dito untuk mandi, siapa yang bisa menjamin dia akan balik ke sini? Gadis ini tidak bisa diprediksi pergerakannya. Dia memang sudah minta izin untuk tinggal, tapi dia bisa saja berubah pikiran.

"Aku tidak terbiasa dengan warna pink," jawabnya sambil meringis. "Jangan tersinggung. Itu hanya masalah selera."

Astaga, bisa tidak sih dia melupakan soal kaus pink itu? Lain kali aku tidak akan menerima pemberian apa pun dari Ruby. Berakhir memalukan seperti ini sama sekali tidak menyenangkan.

"Kaus pink itu kecelakaan," kataku membela diri. "Aku punya banyak kaus yang tidak berwarna pink."

"Oh ya?" ejeknya. "Waktu membelinya kamu sedang buta warna?"

Ya Tuhan, dia memang mendapatkan kebahagiaan dengan menjadikan aku olok-olok. Untung saja aku jatuh hati padanya. Kalau tidak, aku akan membuka pintu dengan senang hati dan menyeretnya keluar.

"Akan kuambilkan handuk dan kausnya." Aku beranjak menuju kamar. Meneruskan percakapan tentang kaus pink sama sekali tidak menarik.

"Hei!" Panggil Renata.

"Apa?" Aku berbalik.

"Kamu lucu kok pakai warna pink. Kekasihmu yang memberikan kaus itu pasti senang melihatmu memakainya." Tawanya berderai. "Aku tahu itu pasti kaus pemberian perempuan. Aku tidak sebodoh yang kamu pikir."

Aku sama sekali tidak pernah berpikir kalau dia bodoh. Tapi aku tidak suka dia bisa menebak asal kaus itu. Sekarang aku lebih suka dia mengira aku yang membelinya. Entah mengapa, aku tidak suka dia mengira aku terlibat hubungan emosional dengan perempuan lain.

"Asal-usul kaus pink itu tidak seperti yang kamu kira." Aku tidak harus menjelaskan, tapi aku tidak ingin dia salah paham.

"Jadi kamu sendiri yang membelinya? Oke, itu diluar dugaanku." Renata mengangkat tangan. "Hei, jangan khawatir. Aku tidak menghakimi. Orientasi seksualmu bukan urusanku."

"Aku bukan gay!" sentakku. Gadis itu sungguh pintar menyulut emosi.

"Astaga, temperamenmu buruk. Kukira aku saja yang bisa membuat orang jengkel dalam waktu singkat. Baiklah, kamu bukan gay. Bisa ambilkan handuknya sekarang?"

Ya Tuhan, stok kesabaranku benar-benar harus tanpa batas.

**

Aku keluar kamar setelah mandi. Renata sedang duduk di depan TV. Menonton Nat Geo Wild. Kepalanya masih terbungkus handuk. Dia kelihatan segar.

"Hei!"

Aku menarik napas panjang. "Namaku Bayu. Bukan Hei."

Bola mata indahnya berputar. "Baiklah. Aku bisa minta tolong lagi?"

"Bayu," aku berkeras.

Bola matanya sekali lagi mengarah ke atas. "Baiklah, Bayu. Apakah aku bisa minta tolong lagi?"

"Apa pun. Aku memang dilahirkan untuk mengabulkan permintaanmu." Eh, kenapa gurauanku terdengar menjijikkan, ya?

Renata tidak menghiraukanku. "Aku seharusnya bertemu teman-temanku, tapi aku sedang malas keluar. Tidak apa-apa mereka yang kusuruh ke sini, kan? Tapi kalau kamu tidak nyaman..."

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang