Lima

20.9K 2.5K 56
                                    

Baru ditulis dan belum diedit dengan rapi.  Selamat membaca dan semoga suka. 

**

Aku sedang dalam proses detoksifikasi. Detoksifikasi Renata. Lucu? Konyol, lebih tepat. Maksudku, bagaimana mungkin seseorang yang belum lama kukenal bisa menguasai sebagian besar ruang dalam kepalaku? Tidak masuk akal.

Aku sudah memikirkannya beberapa hari ini. Sejak hari terakhir pertemuan kami yang sayangnya tidak berakhir baik. Hari ketika aku mengantarnya untuk membuka gips. Aku dapat menangkap kelegaan yang tidak berusaha disembunyikannya saat mengatakan, "Dengar, aku baik-baik saja sekarang. Kamu sudah bisa berhenti bersikap seperti seorang gentleman dan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak akan membutuhkan bantuanmu lagi. Meskipun aku tidak yakin harus mengucapkan ini karena kamu yang menyebabkan aku masuk rumah sakit, tapi terima kasih sudah bertanggung jawab dan melayaniku."

Dengar itu, dia mengusirku! Dia memintaku menjauhinya. Kata-katanya memang tidak eksplisit mengungkapkan pengusiran, tapi aku tidak bodoh. Dia dengan halus menyuruhku pergi. Menjauh. Atau bila perlu, menghilang dari hadapannya.

Aku tersinggung. Tidak ada orang yang pernah mengusirku sebelumnya. Terlebih lagi seorang gadis. Sekali lagi, bukan bermaksud sombong, tapi aku dibesarkan dengan baik oleh ibuku. Dididik untuk menjadi laki-laki yang bisa dibanggakan sebagai anak. Dengan sikap, pekerjaan, dan tampang seperti yang kumiliki, menarik perhatian seorang gadis tidak pernah menjadi masalah. Aku bahkan tidak perlu melakukan apa-apa untuk menarik perhatian mereka, dan mereka akan berbaris untuk membuatku terkesan.

Jadi kata-kata Renata merupakan pukulan telak untuk ego dan harga diriku. Dia pikir dia siapa? Dia bukan siapa-siapa. Dia tidak lebih cantik dari kebanyakan gadis lain yang bersedia antri untuk mendapatkan senyumku. Dia pikir aku tidak bisa menjauh dan terikat dengannya? Jangan besar kepala, Nona Sombong. Aku mungkin sedikit hanyut dan tertarik dengan sikap ketus yang kamu tunjukkan. Tapi hanya sebatas itu. Tidak lebih.

Tidak, tentu saja aku tidak jatuh cinta padanya. Aku bukan orang yang gampang jatuh cinta. Seperti yang kubilang tadi, aku hanya tertarik. Wajar kan jika kita tertarik pada sesuatu yang tidak biasa? Coba analogi ini. Bila kita terbiasa makan ayam goreng setiap hari, melihat steak akan menggugah selera. Tapi apakah kita akan makan steak setiap hari, seumur hidup, hanya karena rasa tertarik sesaat tadi? Tentu tidak. Jadi Renata hanyalah seporsi steak di tengah tumpukan ayam goreng yang membosankan. Tidak lebih. Jadi ini tidak akan sulit. Aku mungkin akan mengenyahkannya dari pikiranku jauh lebih cepat dari yang kuduga.

Itulah awal proses detoksifikasiku. Aku tidak akan menemui gadis itu lagi. Aku akan melupakannya. Mengganggapnya tidak pernah ada dan bersinggungan denganku. Aku akan menjalani kembali kehidupanku yang tenang sampai menemukan gadis cantik lain yang menggetarkan hatiku. Gadis yang akan melihatku dengan tatapan memuja. Gadis yang tidak akan menohok harga diriku dengan kata-kata kasarnya.

Baiklah, aku terdengar berlebihan. Renata membuatku jadi lelaki lebay. Aku tidak suka itu. Jadi detoksifikasi ini adalah langkah tepat. Hari pertama sangat mudah. Aku tentu saja masih memikirkannya. Tapi aku bisa menahan diri untuk tidak menghubunginya.

Astaga, sial! Proses ini rupanya lebih sulit daripada yang kuduga. Aku belum menghapus nomornya dari ponselku. Bukannya aku tidak ingin. Sudah beberapa kali jariku hampir menekan tombol delete pada nomornya, tapi tidak berhasil melakukannya. Demi Tuhan, itu hanya nomor telepon. Dan aku punya banyak nomor lain yang hampir tidak pernah kuhubungi di ponselku. Nomor klien-klien lamaku, misalnya. Jadi satu nomor lain tidak ada pengaruhnya, kan? Toh aku tidak akan menghubunginya. Anggap saja itu nomor asing yang lain.

Oke, itu terdengar bodoh. Ya, kalian boleh tertawa. Ini proses detoksifikasi. Tentu saja ada tahapannya. Beberapa hari ke depan, jariku tidak akan ketakutan pada tombol DELETE itu lagi. Hanya perlu bersabar.

Hari kedua juga tidak ada masalah. Aku berhasil melaluinya dan yakin akan melewati episode Renata dengan mudah. Berpikir bahwa obsesi sesaatku itu akan segera mencapai akhir.

Hari ketiga aku mengingatnya lebih dari yang seharusnya kuinginkan. Proses detoksifikasi itu mulai mengganggu. Aku ingin menemuinya. Astaga, aku bahkan merasa merindukan tatapan galaknya itu. Aku betul-betul kacau.

Hari keempat. Kerinduanku seperti tak tertahankan. Melawan perasaan itu, aku lalu menyambangi apartemen Mas Tanto. Aku hanya perlu memintanya mengikatku di tiang bila tiba-tiba punya keinginan menggedor apartemen Renata. Menyedihkan mengetahui pertahanan dan harga diriku ternyata tidak sekuat yang kupikir. Karena itulah yang kupikirkan sekarang. Mengunjungi Renata.

Mas Tanto sedang sibuk dengan coffee maker ketika aku tiba di sana.

"Kamu punya masalah dengan Tuan Subagyo? Tampangmu kusut. Hanya dia yang punya kemampuan untuk melakukan itu."

Sayangnya kemampuan Tuan Subagyo merusak hariku tidak sekuat Renata. Ya ampun, aku memikirkannya lagi. Aku berada di sini untuk melupakannya, kan? Karena tinggal seorang diri di kamarku membuat bayangannya memenuhi langit-langit yang kupandang.

"Mas Tanto pernah bertemu gadis yang menyebalkan?" Aku menarik kursi bar dan duduk.

"Bukannya hampir semua gadis menyebalkan?" Mas Tanto terkekeh. "Jangan bilang sama Mama aku mengatakan itu. Kuliahnya akan lebih panjang dari biasa. Maksudku, Yu, itulah gunanya Tuhan mengambil tulang rusuk kita satu. Untuk menciptakan mahluk lain menyebalkan yang ribut soal kuku yang patah, maskaranya yang ternyata tidak waterproof, atau tentang penampilan perempuan lain yang lebih baik darinya." Mas Tanto mendorong secangkir kopi di depanku. "Perempuan, Yu. Sulit hidup dengan mereka, tapi mustahil hidup tanpa mereka. Jadi, nikmati saja. Jadi siapa gadis itu? Kita masih membicarakan orang yang sama? Renata kan, namanya?"

Mas Tanto sudah kuceritakan tentang kekesalanku pada sikap Renata. Yang tidak kukatakan adalah bahwa aku menghabiskan banyak waktu untuk memikirkannya. Tapi aku yakin dia tahu. Dia selalu bisa membacaku dengan mudah.

Aku mendengus. "Dia benar-benar menyebalkan!"

"Itu karena kamu menyukainya." Benar, kan? Mas Tanto langsung menyerang tanpa basa-basi. "Hanya orang yang berarti bagimu yang bisa membuatmu kesal. Kenapa? Karena kamu tidak akan menghabiskan banyak waktu memikirkan sikap dan perbuatan orang yang tidak kamu anggap."

"Aku tidak akan menemuinya lagi," ucapku pahit.

Mas Tanto menatapku dari balik cangkir yang dipegangnya. "Kenapa?"

"Dia tidak mau aku menemuinya lagi setelah perawatannya selesai."

"Dia bilang begitu?"

"Tidak persis seperti itu, tapi maksud kalimatnya begitu."

Mas Tanto melepas cangkirnya dan menepuk bahuku. "Bro, kamu tahu mengapa orang-orang bisa memenangkan pertempuran mereka? Karena semangat pantang menyerah mereka. Mereka tidak mundur satu tapak pun meski apa yang terjadi. Dan yang mereka hadapi itu senjata. Nyawa taruhannya. Dan kamu selembek ini hanya karena penolakan seorang gadis? Astaga, Tuan Subagyo pasti berang bila mendengarnya."

Aku meringis mendengar analoginya. Tapi Mas Tanto benar. Aku menjadi seperti kerupuk yang disiram air hanya karena penolakan? Itu tidak terdengar maskulin. Bagaimana mungkin aku mengambil hati apa yang Renata katakan? Dia memang seperti itu dari awal, kan? Selalu berusaha membuatku menjauh meskipun tetap membuka pintu apartemennya saat aku datang. Aku saja yang mendadak terlalu sensitif. Seperti perempuan yang bermasalah dengan estrogen.

Aku buru-buru menghabiskan kopiku yang masih terasa membakar lidah dan bangkit. "Aku harus pergi."

"Semangat, Bro!" Mas Tanto nyengir. "Jangan membuatku terpaksa harus membelikanmu bra karena mulai suka mendramtisir keadaan seperti Mama."

Sialan. Aku meninju lengannya sebelum meninggalkan suara tawanya yang menggema.

**

Pintu dibuka pada ketukanku yang ketiga. Wajah tertekuk Renata menyusul kemudian. Aku sudah menyiapkan diri jadi berusaha untuk tidak tersinggung.

"Aku bawa pizza!" Seruku dengan suara kubuat seriang mungkin sambil mengangkat kotak yang kubawa di depannya. "Makan malam. Bisa juga untuk camilan kalau kamu sudah makan." Sekarang memang sudah lewat jam makan malam.

"Kamu..." Renata menghela napas, lalu memutar bola mata. ""Masuklah," katanya kemudian. Dia memiringkan tubuh dan memberiku jalan.

Aku akan mentraktir Mas Tanto makan siang besok.

au���'��

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang