Delapan Belas

13.5K 2.5K 79
                                    

Part-nya pendek banget. Hanya sempet nulis ini.  Cerita ini akan fast update. Kalo nggak sempat setiap hari, paling sedikit tiga kali seminggu sampai tamat. Aku tidak akan membiarkannya menggantung lagi sebelum mulai dengan cerita baru, supaya lebih fokus. Selamat membaca.

**

Aku hanya punya waktu tiga minggu untuk membuat Renata melihatku sebagai laki-laki yang pantas menjadi pendampingnya, bukan hanya sebagai teman yang enak diajak jalan dan bercanda. Lebih tepatnya, bahan candaan sih. Dia terlihat sangat menikmati menjadikan aku sebagai leluconnya.

Tiga minggu itu singkat. Terutama untuk aku yang juga punya kesibukan di kantor. Biasanya aku sampai di apartemen di atas jam enam, dengan kondisi lelah. Namun untuk rencana masa depan yang lebih indah, aku tidak boleh terlihat kuyu. Aku tidak bisa membayangkan masa depanku tanpa Renata. Jadi menyerah, sama sekali bukan pilihan.

Minggu pertama hampir berakhir tanpa kemajuan berarti. Setiap hari aku memaksakan diri bergabung makan malam di tempat Dito karena dia lebih suka memasak daripada makan di luar. Aku merasa tidak enak juga sih karena terkesan sebagai pengemis. Namun demi Renata, aku harus membuang rasa malu. Aku juga tidak mungkin menawari Dito uang untuk kompensasi aku numpang makan, tanpa membuatnya tersinggung.

Dito terlihat sangat mengerti pada apa yang sedang kulakukan. Biasanya, setelah makan, dia akan mencari alasan untuk keluar. Atau langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar lagi sampai aku pulang.

Yang tidak peka itu justru Renata. Dia tidak segan-segan mengusirku pulang. Alasannya mulai dari, "Kamu pulang deh, Bayu. Kelihatannya kamu ngantuk dan capek." Sampai. "Sorry ya, aku tidak bisa menemanimu ngobrol, aku harus riset. Kamu pulang saja."

Hari ini sabtu. Aku sedang berlari di atas treadmill saat melihat Renata tiba-tiba muncul di dalam apartemenku. Aku memang memberinya password sehingga bisa masuk kapan saja, tanpa menunggu aku ada. Itu salah satu kode yang kukirimkan, tetapi sepertinya tidak dipahami Renata.

Kadang-kadang kurasa Renata bukan tidak paham. Dia hanya pura-pura tidak mengerti. Maksudku, seberapa sulit menangkap kode yang terang-terangan kukirim? Sangat mudah. Apalagi untuk ukuran orang secerdas dia. Renata hanya memilih mengabaikan. Dan itu menjengkelkan.

"Lanjutkan saja." Renata memberi isyarat padaku. Dia langsung menuju lemari es dan mengeluarkan jus. Dia lalu duduk di meja bar sambil terus melihatku berlari.

Aku memutuskan turun dari treadmill. Menyusul Renata di meja bar sambil menyeka keringat yang mengucur deras. Aku mengambil jarak lumayan jauh. Renata mungkin akan kehilangan selera minumnya saat melihat tetesan keringatku. Laki-laki berkeringat di pagi hari bisa jadi bukan hal yang diingin dilihatnya di pagi hari.

Renata mengulurkan gelas yang sudah diisi jus padaku. Aku meneguknya hingga tandas.

"Terima kasih." Aku memberi senyum semanis yang kubisa. Waktuku tinggal dua minggu. Semua kesempatan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Renata tertawa kecil. "Itu jusmu. Aku hanya menuangnya ke dalam gelas." Bola matanya mengarah ke atas, seolah ucapan terima kasihku sangat konyol.

Aku mungkin dilahirkan untuk mencintai Renata, tetapi jelas tidak akan memenangkan perdebatan apa pun dengannya. Aku memutuskan tidak melanjutkan obrolan tentang jus jeruk.

"Akhir pekan. Kamu mau ke mana?" tanyaku. "Aku menganggur sampai besok."

"Kurasa aku akan merepotkanmu." Renata meringis menatapku. Ada sinar keraguan yang kutangkap di sana.

Aku suka direpotkan olehnya. "Apa yang bisa kubantu?"

"Rachel kembali dari Tibet. Dia akan bergabung dalam ekspedisi kami." Renata diam sejenak, mencoba menyusun kalimat berikutnya. Dapat kulihat kalau dia bukan tipe orang yang suka meminta pertolongan. "Maksudku...." Dia lantas mengibas. "Tidak, lupakan saja...."

Aku sudah dapat meraba maksudnya. Aku menahan diri untuk tidak bersorak gembira. "Kamu bisa tinggal di sini sampai kamu berangkat. Atau sampai kapan pun kamu mau." Dia pasti tidak mau menjadi orang ketiga di dalam apartemen sepasang kekasih.

''Tidak." Renata menggeleng. Dia kembali tertawa kecil, seakan menyadari jika apa yang diucapkanya tadi tidak masuk akal. "Aku bisa tinggal di hotel. Hanya dua minggu lagi."

Aku tidak akan membiarkannya lepas begitu saja. Ini kesempatanku. Rezeki tak terduga. Aku bisa menemuinya setiap hari selama dua minggu ke depan. Aku tidak harus mengetuk apartemen Dito sepulang kerja untuk menatap wajahnya.

"Tinggal di sini saja. Biaya hotel tidak murah. Aku tahu kamu punya uang, tetapi lebih baik disimpan untuk kebutuhan lain, kan?"

"Beneran tidak apa-apa?" Renata masih terlihat ragu.

"Memangnya kenapa? Punya room mate pasti menyenangkan," bujukku. Aku harus berhasil meyakinkannya.

"Tapi kalau aku membuatmu tidak nyaman, kamu harus bilang, ya?"

Yess! Renata terlihat melunak. "Tentu saja." Mana mungkin aku tidak nyaman dengan kehadirannya? "Tunggu di sini, aku mandi dulu sebelum membantumu berkemas pindahan," kataku semangat.

Renata berdiri. "Tidak perlu dibantu. Aku hanya punya satu koper, kok. Aku belum sempat mencari apartemen baru karena terlibat proyek ini. Aku akan berada di luar cukup lama. Aku tidak ingin direpotkan dengan mengurus tempat tinggal. Makanya aku menumpang Dito."

Aku menyusulnyaberdiri. "Kalau begitu, ambil kopermu. Aku juga akan siap-siap. Kita akanjalan-jalan dan cari makan di luar." Dengan Renata di sisiku, ini akhir pekanyang sempurna.    

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang