Sembilan

16K 2.5K 47
                                    

Typo mungkin masih betebaran, tapi semoga dapat dinikmati. Selamat membaca.

**

Bunyi bel dan gedoran pintu apartemen membuatku terbangun. Mataku masih setengah tertutup ketika melihat wajah Ruby dari kamera penghubung. Apa yang dia lakukan di depan pintuku pada jam –aku melirik jam dinding- satu dini hari? Dia sudah biasa datang ke sini tapi tidak pernah di waktu seperti ini.

"Kenapa lama sekali baru pintunya dibuka?" tanya Ruby yang setengah terhuyung, menabrak bahuku saat memaksa masuk, ketika pintu kubuka.

"Kamu mabuk?" Aku mengikuti punggungnya. Aku tidak suka berurusan dengan orang mabuk, terlebih lagi, wanita mabuk. Sangat merepotkan.

Kalau dia benar-benar mabuk, ini bukan yang pertama kalinya dia membuatku harus mengurusnya. Tahun lalu, seseorang dari kelab malam menghubungiku untuk datang menjemput tunanganku di tempat itu. Tunangan yang terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang dengan mobil sendiri atau taksi. Seandainya dia bukan Ruby yang sudah kuanggap seperti adik sendiri, aku akan mengomel panjang lebar karena sudah menjual namaku seperti itu. Lagi pula, marah pada Ruby itu sama saja marah pada bayangan di cermin. Tidak ada gunanya. Hanya akan menghabiskan energi karena dia akan mengabaikan dan pura-pura tidak mendengar. Dia itu mengalami masalah pendengaran selektif. Dia hanya akan menanggapi semua hal yang disukainya dan pura-pura tuli pada perkataan yang tidak mau didengarnya.

"Aku tidak mabuk, Mas." Ruby melempar tasnya begitu saja dan mengempaskan tubuh di sofa panjang. Berbaring nyaman seperti di ranjangnya sendiri. Matanya terpejam. "Aku hanya minum sedikit di perayaan proyek baru kantorku. Orang tidak mabuk karena minum sedikit."

"Sedikit itu berapa banyak?" Aku melipat tangan di depan dada. Pasti bukan hanya segelas anggur.

"Mereka membuka beberapa botol. Proyek ini hampir besar dengan proyek hotel dan resor kalian, Mas. Kami bukan hanya mengerjakan brosur, tapi juga iklan untuk media. Sesuatu yang harus dirayakan."

"Mengapa tidak langsung pulang ke rumahmu?" Aku tidak bisa membiarkannya menginap di sini. Ibunya bisa salah sangka pada hubungan kami. Tanpa pengakuan verbal, aku sudah bisa membaca jika ibunya dan mamaku berusaha menjodoh-jodohkan kami. Memang tidak pernah dibicarakannya secara gamblang, tapi aku tidak bodoh dan tahu upaya itu.

"Apartemen Mas Bayu lebih dekat daripada rumahku. Biarkan aku tidur di sini, ya. Aku akan pulang pagi-pagi. Besok sabtu, kan? Aku tidak akan mengganggu."

"Bangun, aku akan mengantarmu pulang." Dia tidak bisa dibiarkan di sini. Hanya akan menyuburkan harapannya. Aku bukan laki-laki yang suka mengambil keuntungan dari seorang wanita. "Sekarang!"

Mata Ruby terbuka. Wajahnya langsung cemberut. "Aku ngantuk, Mas."

"Kamu bisa tidur di mobil. Aku yang akan menyetir."

"Mas..."

"Sekarang, By." Aku memungut tasnya yang tergeletak di lantai. "Aku antar pulang sekarang."

"Mas Bayu mengusirku, ya?" Wajahnya makin cemberut.

"Aku mengantarmu pulang, bukan mengusirmu."

"Sama saja. Mas Bayu tidak suka aku berada di sini."

"Kamu boleh berada di sini, By. Tapi tidak dalam keadaan mabuk, dan tidak di waktu seperti ini."

"Mas Bayu tidak sayang lagi padaku," Ruby setengah merengek.

Aku akan membiarkannya tinggal, jika dia hanya menganggapku sebagai kakak, sebagaimana aku menyayangi sebagai adik. Tapi dia berharap hubungan kami lebih, dan harapan itu yang tidak ingin aku berikan. Tidak.

"Aku menyayangimu, By. Aku dan Mas Tanto sudah menganggapmu seperti adik sendiri."

"Aku tidak mau jadi adik Mas Bayu!"

Inilah yang aku tidak suka dari kebanyakan perempuan. Merengut karena hal-hal kecil seperti ini. Bertengkar untuk sesuatu yang tidak perlu.

**

"Menghancurkan hati seorang gadis bukan pilihan bijak," ujar Mas Tanto saat aku menceritakan soal Ruby.

"Ya, Mas bisa bilang begitu karena bukan Mas yang harus berurusan dengan Ruby. Semua orang tahu bagaimana keras kepalanya dia!"

"Dia hanya wanita yang sedang jatuh cinta, Yu."

"Dan mengapa harus padaku?" keluhku.

"Jawabannya pasti sama dengan mengapa kamu bisa tertarik pada Renata. Terkadang tidak butuh alasan untuk jatuh cinta. Kamu dengan mudah bisa menyebutkan sifat jelek Renata, kan? Tapi itu tidak akan membuatmu berhenti untuk peduli. Cinta memang konyol seperti itu."

"Ruby harus tahu kalau rasa sayangku padanya tidak ada hubungannya dengan asmara."

"Kurasa dia sudah tahu, Yu. Dia hanya sedang berusaha membuatmu mengubah keputusanmu. Seperti yang kamu bilang, dia keras kepala. Pantang menyerah. Siapa tahu usahanya membuahkan hasil. Perasaan bukan ilmu pasti. Dapat berubah sewaktu-waktu. Itu yang sedang Ruby kejar."

"Dia harus dihentikan."

Mas Tanto tertawa. "Kita bicara tentang Ruby. Akan sulit menyingkirkannya. Tapi coba saja." Dia meninju bahuku. "Semangat! Asal tahu saja, aku juga tidak akan keberatan membuat Ruby menangis untuk seorang Renata Winata."

Aku menatap sengit. "Mas..."

"Hei...sudah kubilang aku tidak akan masuk di ring yang sama denganmu, Yu. Aku hanya ingin mengatakan kalau perasaan seperti itulah yang juga dirasakan Ruby kalau tahu kamu sedang dekat dengan seseorang. Mungkin bisa lebih buruk karena dia sudah menyukaimu sejak kecil."

Menyakiti hati seseorang, terutama Ruby sama sekali bukan hal yang kuinginkan. Aku sayang padanya. Tapi tidak pernah ada debaran jantung saat menatapnya. Tidak ada rasa rindu saat terpisah dengannya. Sama sekali tidak ada hal-hal konyol seperti yang kurasakan pada Renata.

"Dia belum menghubungiku." Aku melanjutkan saat kening Mas Tanto berkerut. "Renata. Dia belum menghubungiku. Tempat seperti apa yang didatanginya sampai tidak punya sambungan telepon?"

"Tempat yang jauh dari perkampungan?" Mas Tanto hanya membuatku makin terdengar bodoh. "Gambar yang dicarinya pasti berada di tempat seperti itu."

Aku menutup mulut yang hendak mendebat saat notifikasi dari ponselku berbunyi. Senyumku segera mengembang lebar saat melihatnya. Renata. Pesan dari Renata. Dia sudah kembali ke peradaban dan menemukan sinyal telepon. Beberapa jam lalu saat aku mencoba menghubunginya, ponselnya masih tidak aktif.

Aku di Morotai.

Pendek saja. Seperti biasa. Aku segera menghubunginya di bawah tatapan mencela Mas Tanto yang mengeleng-geleng.

"Ya, halo?" akhirnya aku bisa mendengar suara yang kurindukan itu.

"Bagaimana Morotai?" Benar-benar basa-basi yang basi. Aku tidak tahu seperti apa tempat yang bernama Morotai itu. Tapi kurasa tempat itu lumayan. Semua tempat yang didatangi Renata yang punya sinyal telepon akan mendapat nilai bagus dariku.

"Ramai. Ada persiapan untuk sail."

"Sail?" tanyaku.

"Sail Morotai. Kamu tidak tahu?" nadanya terdengar heran. "Ini even besar."

"Sail Morotai?" ulangku. Aku menoleh pada Mas Tanto, berharap bantuannya. Tapi kakakku yang menyebalkan itu tampak menyembunyikan tawanya agar tidak meledak.

"Sail Morotai masuk dalam kalender kementrian pariwisata. Bukankah hal seperti ini seharusnya diketahui orang-orang yang punya bisnis hotel dan resor sepertimu?"

Aku tercekat. Tunggu dulu, dari mana Renata tahu aku berkecimpung di dunia perhotelan? Aku tidak pernah cerita. Sama seperti dia yang tidak pernah bertanya. Aku juga bukan orang yang bisa di-google seperti dirinya. Ayahku iya. Wikipedia bahkan punya beberapa laman untuknya. Tapi tidak aku dan Mas Tanto. Kami bukan orang yang suka berdiri di bawah lampu sorot.

Kali ini senyumku makin lebar. Peduli amat jika aku terdengar tolol karena tidak tahu soal sail Morotai. Tidak ada yang lebih penting daripada mengatahui kalau Renata ternyata cukup peduli untuk mencari tahu tentang diriku. Itu berarti sesuatu, kan? Yess!

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang