Hai, maaf up date-annya pendek banget, ya. Belum sempat dilanjut dan Laras udah nagih. Typo masih betebaran. Harap maklum.
**
Aku mengambil tempat di sofa depan televisi dan membuka kotak pizza yang kubawa. Renata berdiri tepat di ujung meja. Menghadapku. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Bukan pose yang bersahabat. Tapi urat tersinggungku memang sudah kupotong sebelum tiba di sini. Jadi apa pun yang dikatakan dan dilakukannya tidak akan kuambil hati.
"Ayo makan," ajakku. Aku sendiri sudah mengambil seiris dan mulai menyuap. Tidak, aku sama sekali tidak lapar. Tapi mengunyah akan mengurangi kecanggungan.
"Kamu terobsesi fastfood?" reaksi Renata di luar dugaanku. "Kamu membuat berat badanku naik selama aku tinggal di rumah."
Ya ampun, dasar gadis aneh! Bukankah kenaikan berat badan bagus untuk tubuh kurusnya? Dia memang terlihat lebih berisi daripada saat pertama kali kami bertemu, tapi tetap saja masih masuk dalam kategori kurus. Dia terdengar seperti artis saja. Ribut karena kenaikan berat badan.
"Fastfood enak, kan?"
"Kamu tahu kenapa rasanya enak? Kandungan lemaknya tinggi. Dan hampir semuanya lemak jenuh."
Tuhan, mengapa dia suka sekali membuatku terlihat bodoh? Kepuasan macam apa yang didapatkannya dengan memberi kuliah seperti ini? Tapi kalau ini salah satu triknya untuk mendepakku dari apartemennya, dia tidak akan berhasil. Dia harus tahu jika bukan hanya dirinya yang punya pendirian teguh.
"Aku tidak makan makanan seperti ini setiap hari, kok. Lagi pula, aku sangat sehat. Kelebihan kalori yang masuk ke dalam tubuhku akan kubuang di gym."
"Kamu tidak makan fastfood setiap hari tapi selalu membawakan makanan itu untukku? Kamu sengaja membuatku menimbun lemak?"
Astaga, usahanya benar-benar keras untuk membuatku kesal. Aku tersedak dan meletakkan potongan pizza yang kupegang. Aku berdiri hendak menuju lemari es, tapi Renata sudah mendahuluiku. Dia kemudian kembali dengan gelas berisi air dingin yang diulurkannya padaku.
"Terima kasih." Aku meraih gelas itu dan menenggak isinya sampai habis. Ya, setidaknya dia berbaik hati dan tidak membiarkanku mati tersedak.
"Sejujurnya, aku tidak mengira kamu akan kembali ke sini lagi." Renata ternyata belum selesai dengan pukulan-pukulannya pada mental dan egoku. "Setelah yang kemarin itu." Maksudnya adalah pengusiran itu.
"Aku bukan orang yang mudah disingkirkan." Artinya jelas, aku bermuka badak.
Mata Renata yang besar tampak menyipit menatapku. Hanya sesaat sebelum dia mendesah. "Hanya sampai ketika kamu menyentuh titik jenuh. Itu manusiawi."
"Apa?"Aku tidak menangkap maksudnya dengan baik.
"Kamu salah kalau berpikir aku mau bermain tarik ulur denganmu. Dengar baik-baik, aku tidak berencana menggunakan trik jual mahal untuk menarik perhatianmu. Aku sungguh-sungguh saat mengatakan tidak usah menemuiku lagi. Aku tidak melakukannya untuk membangkitkan rasa penasaranmu."
Dia benar-benar blakblakan. Menyebalkan. "Aku tahu."
"Lalu mengapa kamu datang? Aku tidak bermain dengan orang sepertimu."
"Orang sepertiku?" Memangnya aku berbeda dengan orang lain?
Renata melihatku dari atas ke bawah. Dari kepala sampai ke kaki. Seperti sedang menaksir barang yang akan dibelinya. "Bocah kaya sepertimu bukan teman main yang menyenangkan."
Dengar itu, bocah katanya! Dia menyebutku bocah! Beraninya! Aku bukan bocah. Umurku sudah lebih dari cukup untuk membuat bocah. Tapi tidak, aku tidak akan melayaninya. Aku hanya perlu menarik napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan diri. Gadis ini sangat beruntung karena bisa melihat versi sangat sabar dari diriku. Aku belum pernah sesabar ini seumur hidup.
"Orang dinilai dari kepribadiannya dan bukan dari latar belakang keluarganya. Kamu punya pengalaman buruk dengan bocah kaya? Kamu tidak akan mengalaminya denganku. Kamu tahu kenapa? Karena aku bukan bocah. Aku laki-laki dewasa."
Renata memutar bola matanya, seolah argumenku membuatnya bosan. "Kamu tahu apa yang membedakan seorang bocah dan laki-laki dewasa? Tingkat penerimaan pada penolakan. Bocah tidak menerima penolakan. Merengek sampai berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Laki-laki dewasa tidak memaksakan kehendak. Menurutmu, kamu masuk golongan yang mana?"
Kami mungkin akan menghabiskan sisa malam dengan berdebat. Tapi tak mengapa, selama dia tidak mendepakku keluar. Meskipun kata-katanya masih setajam pedang, dapat kurasakan nadanya melunak.
"Ada perbedaan besar antara memaksakan kehendak dan punya prinsip," aku berkelit. "Aku orang yang punya prinsip."
"Prinsip apa? Menyusahkan hidup orang lain? Kamu sudah melakukannya dengan membuatku tinggal di rumah cukup lama."
"Hei, itu kecelakaan. Tidak ada orang yang merencanakan kecelakaan."
Renata menarik napas berat, seperti terpaksa mengakui kebenaran kalimatku. "Kamu masih mau tinggal?" dia mengalihkan percakapan. "Aku harus mengerjakan sesuatu di kamar."
Benar kan dia tidak bermaksud mengusirku lagi? Wanita. Hanya butuh kegigihan untuk menaklukkan mereka. "Lanjutkan saja. Anggap aku tidak ada."
Bola matanya memutar lagi. Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaannya saat mendengar kalimat garingku. "Ya, tentu saja. Kamu tahu pintunya di mana kalau mau pulang dan aku sudah tertidur di dalam."
Aku mengikuti punggung Renata yang lantas menghilang ke dalam kamar dengan mata. Yes, Aku mendapatkan kembali tempatku di sofa ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Let You Go (Terbit)
General Fiction(Sudah Terbit) Apa yang kurasakan pada gadis itu bukanlah cinta pada pandangan pertama, tapi tidak butuh waktu lama untuk merasa terikat padanya. Hanya saja, mendapatkannya jelas bukan perkara mudah karena dia tidak pernah terlihat suka padaku. Ti...