Ini beneran baru kelar ditulis dan langsung up date, jadi typo lumayan betebaran. Tapi semoga dapat dinikmati, ya. Happy reading.
**
Kalau ada orang yang bisa membuatku kelimpungan, dia Renata. Sudah empat hari aku tidak bertemu dengannya. Pintu apartemennya yang kugedor-gedor tidak terbuka. Yang keluar malah tetangganya yang menatapku dengan tatapan ingin membunuh.
Teleponnya yang kuhubungi juga tidak aktif. Dia benar-benar membuatku senewen.
"Dia mungkin keluar kota," ujar Mas Tanto saat mendengarku menggerutu sambil menutup menutup telepon yang lagi-lagi tidak tersambung.
"Memangnya di luar kota tidak ada sinyal?" Yang benar saja. Ini bukan zaman prasejarah lagi. Sinyal telepon ada di mana-mana. Kecuali kalau dia berada di Puncak Jaya Wijaya sana. Dan itu tidak mungkin. "Dia tidak mungkin di luar kota." Aku tidak bisa membayangkan Renata pergi keluar kota dan bercengkerama dengan orang lain. Entahlah. Tapi dengan sikap seperti itu, aku telanjur menganggapnya sebagai orang yang kehidupan sosialnya tidak terlalu bagus.
Pertama, dia tidak punya keluarga yang bisa menemaninya saat dia tidak seharusnya sendiri ketika sakit. Itu aneh, kan? Maksudku, kita semua punya keluarga yang khawatir ketika kita sakit. Tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh, mamaku tidak akan bergerak terlalu jauh dari ranjang ketika aku sakit. Perlakuannya tidak berubah dari saat aku kecil sampai aku dewasa sekarang ini.
Kedua, Renata juga tidak punya teman. Baiklah, ada satu. Dito. Laki-laki maskulin ramah yang masih membuatku tidak nyaman setiap kali mengingatnya. Sampai sekarang aku masih belum tahu seperti apa hubungan mereka. Tapi aku bisa membaca. Tidak ada perasaan istimewa dari pihak Dito meskipun jelas dia sangat menyayangi Renata. Aku laki-laki dan tahu persis hal-hal seperti itu. Tidak ada laki-laki yang membiarkan gadisnya dekat dengan laki-laki lain. Mereka akan menjaga kekasihnya seperti macan betina garang yang menjaga anaknya. Dito tidak seperti itu. Dia malah memintaku bersabar dan mau menjaga Renata. Itu suatu pertanda, kan?
Yang membuatku tidak nyaman adalah cara Renata menatap Dito. Ada pemujaan yang tampak jelas di sana. Bukan jenis tatapan adik kepada kakaknya. Atau tatapan antarsahabat. Bukan seperti itu. Ada harapan dalam binar Renata. Binar yang aku tidak suka.
"Mas Tanto bisa mengakali pintu apartemen Renata?" Kakakku itu pencinta film dan bacaan yang berbau thriller, action, dan detektif sejak kecil. Dia bisa membuka pintu kamar yang dikunci Mama dari luar sebagai hukuman karena kami nakal, waktu kecil. Kepandaian yang diperolehnya dari bacaan dan tontonan itu.
Mas Tanto melongo menatapku. "Kamu menyuruhku membobol apartemen seorang gadis? Kamu baik-baik saja? Kamu tidak terdengar seperti Bayu."
"Ini sudah hari keempat, Mas. Bahkan untuk ukuran Renata, ini berlebihan. Dia memang selalu jutek, tapi akan mengangkat telepon setiap kali kuhubungi. Meski jawabannya hanya ya atau tidak untuk setiap pertanyaanku."
"Aku punya cara yang lebih mudah dan legal untuk masuk ke dalam apartemen gadismu."
"Bagaimana?" tanyaku antusias. Aku akan melakukan apa pun bila itu legal.
" Temui pengurus apartemen itu dan meminta mereka membuka pintunya."
Astaga, kenapa aku tidak kepikiran, ya? Kurasa gadis kurang gizi itu sudah benar-benar memenuhi otakku sehingga aku tidak bisa berpikir jernih lagi.
Aku akhirnya berhasil membujuk Mas Tanto menemaniku untuk melakukan tindakan legal untuk membuka pintu apartemen Renata.
Ketika akhirnya pengurus apartemen itu mau membuka paksa pintu apartemen Renata setelah mendengar penjelasanku karena tidak bisa menghubungi gadis itu, aku menarik napas lega. Tidak ada bau menyengat seperti yang aku khawatirkan. Jujur, pikiranku sudah jelek saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Let You Go (Terbit)
General Fiction(Sudah Terbit) Apa yang kurasakan pada gadis itu bukanlah cinta pada pandangan pertama, tapi tidak butuh waktu lama untuk merasa terikat padanya. Hanya saja, mendapatkannya jelas bukan perkara mudah karena dia tidak pernah terlihat suka padaku. Ti...