Tiga Belas

15.8K 2.6K 108
                                    

Minggu ini tidak sempat menggarap Bayu-Renata lebih sering karena sibuk dengan pekerjaan kantor. Ini baru ditulis untuk up date mingguan. Typo mungkin masih banyak. Tapi semoga bisa dinikmati. Selamat membaca.

**

 AKU sudah bersiap tidur saat bel berbunyi. Siapa yang bertamu malam-malam? Tidak mungkin Mas Tanto karena dia tahu nomor kombinasi pintuku. Ah, semoga bukan Ruby. Aku sedang malas melayaninya tengah malam begini.

Aku bermaksud mendiamkan karena tidak ingin bergerak dari tempat tidur. Kalau orang itu tahu aturan, dia akan berhenti mengganggu tengah malam seperti ini. Besok memang akhir pekan, tapi aku juga butuh istirahat. Tapi bel itu tidak berhenti berbunyi setelah beberapa menit kemudian.

Kesal, aku lalu keluar kamar. Kalau dia benar-benar Ruby yang mabuk, aku harus membuat perhitungan sehingga dia tobat menggangguku tengah malam. Aku bukan kelelawar. Jam tidurku normal seperti orang lain. Dan aku tidak ingin malam-malam tenangku terusik.

Aku termangu di depan layar monitor dari kamera penghubung. Eh, aku tidak salah lihat, kan? Aku tadi belum sempat tidur dan ini hanya mimpi, kan? Atau aku melewatkan pengumuman penting di TV yang mengabarkan besok akan kiamat? Aku memang bukan penggemar acara TV nasional. Aku hanya menontonnya di apartemen Renata untuk bertahan tinggal, beberapa bulan lalu.

Mengapa aku lebay seperti ini? Karena yang tampak dari monitor itu adalah Renata. Apa yang dilakukannya tengah malam begini di depan pintuku? Itu bukan memandangan biasa, jadi wajar kalau aku terkejut.

Aku bisa saja menekan tombol otomatis yang akan membuka kunci pintu, tapi aku memilih cara manual dengan menguakkannya sendiri.

"Hei!" Renata menatapku ragu-ragu. "Maaf mengganggu, tapi apa aku bisa masuk sebentar?"

Aku buru-buru melebarkan pintu, memberinya jalan. "Silakan. Maaf terlambat membuka pintu." Kalau aku tahu dia yang datang, aku sudah melompat pada deringan pertama.

"Aku mengerti. Ini memang sudah terlalu larut untuk berkunjung." Keraguannya makin terlihat. "Mungkin aku tidak seharusnya ke sini." Dia menggeleng-geleng. "Astaga, apa yang kupikirkan, ya?"

Pasti ada sesuatu yang terjadi. "Ada apa?" Desakku. Renata bukan tipe yang berkunjung ke tempat orang tengah malam hanya sekadar iseng. Dia bukan Ruby.

"Kamu tidak kedinginan?" Alih-alih menjawab, dia malah melontarkan pertanyaan aneh.

Astaga, aku baru menyadari kalau aku hanya mengenakan celana panjang berbahan kaus. Aku memang lebih suka tidur seperti ini.

"Sebentar," tahanku. "Aku akan pakai baju dulu. Duduk di sofa saja. Jangan ke mana-mana." Aku buru-buru ke kamar dan menarik kaus secara acak dari lemari. Lalu kembali ke ruang tengah secepat mungkin.

Mulut Renata sedikit terbuka melihatku muncul lagi. Akhirnya, akhirnya Tuhan, dia terpesona juga padaku. Rupanya dia penggemar wajah berbau bantal yang terlihat mengantuk. Atau aura ketampananku memang baru berkilau di atas tengah malam? Apa pun itu, aku akhirnya berhasil membuat gadis yang kusukai ternganga melihatku.

"Pink? Sungguh? Yang benar saja!"

Aku menunduk melihat kausku. Sial! Ini kaus pemberian Ruby beberapa bulan lalu. Dia membeli kaus ini saat ulang tahunnya. Kaus couple, sebenarnya. Dia membelinya supaya kami terlihat serasi saat dia mengambil foto. Aku menoleransi sikap kekanakannya itu hanya karena dia berulang tahun.

Aku menarik napas putus asa. Masuk mengganti kaus lagi akan terlihat norak. "Aku bukan orang yang percaya kemaskulinan seseorang tergantung dari warna yang dipakainya." Ya...ya...alasan bodoh, aku tahu.

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang