13. Penculikan

1.9K 137 3
                                    


Siang ini tepat dipinggir jalan Tebet, suasana ramai. Namun terlalu ramai untuk waktunya jam makan siang. Suara dua orang lelaki dewasa saling berteriak memaki dan suara perempuan yang menjerit histeris. Itu bukan karena sedang ada syuting film ataupun sinetron. Kasak kusuk yang terdengar bahwa dua orang lelaki bertubuh tegap itu terlibat perkelahian. Sang pria berkemeja biru itu merusak kaca mobil pria berkacamata.

"Gue enggak nyangka, gue pikir lo sahabat gue, Man. Tapi lo brengsek!" sekali tonjok, pria berkacamata itu ambruk. Tidak hanya menghancurkan wajahnya saja namun juga menghancurkan kacamatanya juga.

"Lo harus introspeksi, kenapa Dewi ninggalin lo?" lelaki kacamata itu menonjok balik lelaki satu lagi.

"STOP BRAM!! KAMU ENGGAK ADA HAK LAGI UNTUK NGURUSIN HIDUPKU!!" sang perempuan yang berada di tengah-tengah kedua pria itu akhirnya bersuara.

"Aku masih mencintaimu, Dewi." ujar Bram. Ya, lelaki itu salah satunya adalah Bram. Lelaki yang masih saja mengharapkan bisa rujuk dengan mantan istrinya. Dewi berjalan mundur saat Bram mendekat ke arahnya. "Kamu lupa kalau minggu depan kita akan mengadakan anniversary pernikahan kita yang kelima tahun?" Bram mencoba menyentuh Dewi namun tiba-tiba tubuh tinggi Roman berdiri menghalangi Dewi.

Roman didampingi pengacaranya tiba di kantor polisi guna memberikan keterangannya mengenai insiden beberapa jam yang lalu. Mereka sedang diperiksa polisi guna pemeriksaan BAP. Dewi duduk berseberangan dengan Bram di luar ruangan. Perempuan itu selalu membuang wajah saat Bram terus saja menatapnya. Sepertinya Dewi benar-benar ingin menjauhi mantan suaminya itu. Sedangkan Bram duduk sambil mengompres luka-lukanya.

"ASTAGA BRAM!" suara melengking itu terdengar memenuhi ruang tunggu di kantor polisi.

"Terima kasih kamu sudah datang. Duduklah." Sea takut-takut duduk di sebelah Bram yang wajahnya sedikit lecet.

"Biasa saja kali ngeliatinnya. Kayak enggak pernah lihat anak laki berantem saja." ledek Bram. Meskipun sudut bibirnya robek dan banyak darah mengering di wajahnya, namun itu tidak merubah Bram menjadi pangeran kodok yang buruk rupa. Tanpa mereka sadari Dewi mengamati kedekatan mereka berdua.

**

"Aku menyerah." ucap Sea. Tangannya yang tadi sedang mengobati luka-luka di wajah Bram, kini berhenti. "Kamu kayak anak kecil tahu enggak." sambung Sea lagi. Dia kembali ke dapur untuk meletakkan baskom berisi air hangat dan handuk kecil. Sea menghela nafasnya. Pikirannya menerawang saat dia masih di kantor polisi tadi siang. Sea tahu perempuan yang duduk di depannya itu adalah Dewi-mantan istrinya Bram-pantas saja Bram mati-matian mempertahankannya. Dewi benar-benar seperti seorang dewi dalam arti sesungguhnya. Kulit mulus dan badan proporsional.

"Maaf." suara berat Bram terdengar di pintu masuk dapur. Sea pun berbalik sambil berkacak pinggang.

"Maaf kenapa? Maaf karena sudah nyusahin aku yang mau saja dijadiin jaminan, huh?" tanya Sea ketus. Bram berjalan pelan ke arah Sea. "hey berhenti disitu! Aku bilang berhenti!" Sea panik karena semakin lama Bram mendekat ke arahnya sedangkan dirinya tidak bisa bergerak kemana-mana karena di belakangnya ada wastafel.

Tak ada angin, tak ada hujan Bram menarik Sea ke dalam pelukannya. Aneh memang bukannya menolak, Sea justru diam. "Sebentar saja. Saya mau minta maaf sama kamu. Maaf saya bertindak nekat. Tapi mereka.." ada jeda sebentar sebelum Bram melanjutkan kembali ucapannya. "..dengan bodohnya aku terpancing emosi. Seharusnya saya bertindak baik di depan Dewi. Astaga, saya yakin Dewi semakin membenciku." ujar Bram. Lalu dia melepaskan pelukannya.

"Sampai kapan kamu mau seperti ini terus, Bram?" Sea berusaha menyelami mata Bram yang Hulai berkaca-kaca. "jawab aku."

"Saya enggak tahu, Sea. Saya cuma pengen dia kembali. Banyak hal yang belum sempat kami lakukan."

On Air ( Secret Admirer )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang