10. Lepaskan Aku

2.1K 174 3
                                    


Sea

Aku menguap lebar sambil menggaruk-garuk perut gendutku dan beranjak menuju dapur. Rasanya cacing-cacing di perutku meronta minta diberi jatah sarapan pagi ini. Aku mengeluarkan sekotak susu cokelat lowfat dari dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas. Sepertinya hanya dengan segelas susu, cacing itu berisik lagi di dalam perutku. Baiklah cacing, aku akan menurutimu. Tanganku terulur ke arah lemari penyimpanan 'amunisi' milikku. Disana ada roti sandwich aneka rasa, sebungkus keripik kentang ukuran jumbo, sereal cokelat kegemaranku pun nggak lupa aku ambil.

Dengan kedua tangan sibuk memegang gelas dan setumpuk camilan, aku menuju ruang tengah untuk menonton acara gosip kesukaanku. Begini-gini aku kan butuh berita showbiz untuk materi siaranku setiap harinya. Seperti minggu-minggu kemarin, acara gosip menyajikan kisah perceraian artis. Mengapa artis itu mudah sekali untuk bercerai. Saat menikah dulu, apakah semuanya enggak dipersiapkan secara matang atau menikah hanya untuk ajang pamer saja? Entahlah hanya mereka yang tahu. Aku sibuk mengunyah roti sandwich selai kacang dengan lahapnya sambil menikmati berita gosip ini.

"Roman Alderan resmi putus dengan sang kekasih Eldiya Hanana dikarenakan adanya orang ketiga. Siapakah wanita itu? Kita saksikan sesaat lagi hanya di Selebriti Hot." mataku menyipit saat sang presenter menyebutkan nama Roman. Ya, aku memang tahu Roman. Aktor yang tengah naik daun karena filmnya masuk nominasi penghargaan di Bangkok. Tunggu! Jangan bilang dia adalah Roman yang waktu itu sedang mesra-mesraan dengan Dewi, mantan istri Bram. Jangan bilang pula kalau dia adalah teman Bram saat kuliah dulu.

Pip..

Aku matikan televisi dan buru-buru menuju pintu. Aku berlari untuk menemui Bram di sebelah. Aku ketuk pintunya berkali-kali namun enggak ada jawaban. Pikiran parnoku mampir. Jangan-jangan dia loncat dari balkon kamarnya kemudian aku semakin kuat menggedor-gedor pintu apartemennya. Enggak lama kemudian pintunya terbuka dan menampilkan wajah Bram yang sudah segar dan rapi.

"Hey tetangga, ada apa pagi-pagi kemari? Minta sarapan? Ayo kebetulan saya sedang memasak nasi goreng." sapanya dengan ramah. Astaga, aku rasa kaki ku mulai lemas melihat senyumnya. Bram menawan dengan kaos slim fitnya. "Halo Sea, kamu kenapa mematung gitu? Ayo masuk." tanyanya yang sekejap membuatku terkesiap.

Akhirnya aku bersedia masuk ke dalam apartemennya, mengekor hingga ke ruang makan. "Apa kamu baik-baik aja?" tanyaku pelan dan nyaris tanpa suara. Aku lihat dahinya berkerust dan sebelah alisnya naik. "Hemm..maksudku, kamu nggak liat infotainment pagi ini?" tanyaku lagi. Bram tiba-tiba tertawa dan membuatku seperti orang bodoh.

"Saya paling anti sama acara infotainment. Saya businessman, saya lebih suka melihat berita yang menyajikan perkembangan saham, perekonomian atau pendidikan, paham Sea?" jawabnya dengan tegas. Cih, aku merasa malu sendiri. Hobiku ketahuan suka menonton acara infotainment.

"Baiklah, kalau kamu enggak apa-apa. Aku pamit." aku merasakan tanganku dicekal.

"Sarapan lah bersama saya. Akan saya buat perutmu kenyang." katanya sambil memperlihatkan senyum sejuta watt-nya. Ya Tuhan, dia sungguh tampan.

**

"Kamu mau ngajak aku kemana sih, Bram? Dari tadi enggak dijawab pertanyaanku. Hey, duda desperate!" pekik Sea dan langsung mendapat tatapan horror dari Bram. Buru-buru Sea menutup mulutnya rapat. "kamu enggak berangkat kerja?" tanya Sea setelah dirasa suasana mulai mencair.

"Saya ini bos jadi terserah mau berangkat ke kantor atau enggak." jawab Bram dengan bangganya. Sea memutar bola matanya karena merasa jengah mendengar Bram yang nge-bossy. "Saya enggak main-main kalau sampai Dewi mau kembali rujuk sama saya, saya akan kasih setengah saham di Healty LiFe buat kamu." Bram masih fokus menyetir. Dia tidak sadar pernyatannya tadi mampu membuat Sea menganga. Setengah saham? Oh My God!

Mobil Bram terparkir di basement sebuah hotel mewah di daerah Kasablanka. "Kok kita ke hotel? Kamu mau ngapain?" Sea merinding sambil mengedarkan matanya ke parkiran yang gelap. "Kamu jangan macam-macam ya sama aku, Bram."

"Ayo turunlah, akan saya jelaskan nanti." Bram keluar dari mobilnya dan berjalan meninggalkan Sea di belakang. Sea hanya mendengus kesal sambil memaki-maki dari balik punggung lelaki itu.

Bram menuju meja resepsionis namun sepertinya dua orang resepsionis cantik itu terlihat akrab dengan Bram. Mereka berdua tersipu malu saat Bram berbicara sesuatu. Sea hanya memandang itu sambil duduk di sofa yang terletak tak jauh dari meja resepsionis, Bram melambaikan tangan pada Sea dan mengisyaratkan agar dia mengikuti langkahnya yang menuju lift.

Pintu lift terbuka lalu mereka berdua masuk. Bram menekan angka 16 di panel. Suasana lift sangat sepi. Hanya ada mereka di dalam. Sesekali Sea menghembuskan nafasnya persekian detik mengagumi tubuh atletis Bram dari belakang. "Aku enggak habis pikir, kenapa Dewi bodoh banget menceraikan lelaki mapan nan tampan macam orang di depanku ini." batin Sea.

Bram pun menoleh dan tentu saja membuat Sea terkejut.

"Apa?" bentak Sea karena saking gugupnya diperhatikan oleh Bram.

"Kenapa sih suka sekali mendesah?" tanya Bram.

"Apa kamu bilang? Aku mendesah? Hey kamu kira.."

Ting! Pintu lift terbuka. Buru-buru Sea keluar dari lift meninggalkan Bram.

"Sea!"

"Apa lagi?"

"Ini masih lantai lima. Kamu bisa berhitung kan?" Seketika wajah Sea memerah. Dia melongok ke atas dan memperhatikan angka yang tertera di layar kecil. Memang benar ini masih lantai lima dan Bram tertawa puas berhasil membuat Sea malu. Mau tidak mau Sea kembali masuk ke dalam lift.

"Berhenti ketawa atau..?" ancam Sea. Bukannya takut, Bram justru mendekatkan tubuhnya kepada Sea.

"Atau apa?" tanya Bram dengan seringai jahatnya. Kalau ini dibiarkan, bisa dipastikan kalau Sea sebentar lagi akan pingsan. Aroma maskulin dari tubuh tegap Bram menguar menggoda indera penciuman Sea.

"Hmm..atau...hmm..aku enggak akan bantu kamu rujuk sama Dewi." hanya kata-kata itu yang berhasil keluar dari mulut Sea. Bram akhirnya menarik tubuhnya menjauh dari Sea. Entah mengapa ada sesuatu yang aneh menggelayut di hati Sea. Tidak lama kemudian, pintu lift terbuka dan kali ini berhenti di lantai 16. Bram sudah berjalan keluar dan meninggalkan Sea yang masih berdiri mematung.

Sea duduk di pinggir kolam renang hotel sambil mencelupkan kedua kakinya. Dia menoleh dan melihat dari kejauhan sosok Bram yang kece tengah duduk bersama seorang lelaki tampan yang diketahui bernama Julian. Entah siapa Julian itu yang diketahui Sea adalah Julian sahabat Bram sejak SMA dulu. Sea pikir Bram itu lelaki tampan tapi yang namanya Julian pun tidak beda jauh dari Bram. Wajahnya macam aktor Korea. Putih mulus dan seksi tentunya.

"Sea." sebuah suara yang tidak asing memanggil namanya. Dia hapal betul dengan suara itu. Namun Sea tidak menoleh, dia takut ini hanya halusinasi saja. Dia takut kalau pikirannya lagi-lagi tentang lelaki brengsek bernama Ardhan. Tanpa diduga, sosok pria yang memanggilnya tadi duduk di sebelah Sea dan ikut menceburkan kedua kakinya ke dalam kolam renang yang dingin. Sea berusaha menahan nafas. Dia tidak boleh tergoda karena sekarang situasinya tidak lagi sama.

"Apa kabar?" tanya Ardhan berbasa basi ria.

"Baik." jawab Sea singkat. Dia tidak berharap percakapan ini akan menjadi panjang, dia ingin Ardhan sadar diri dan segera pergi dari tempat ini secepatnya.

"Kamu lagi ada acara juga di hotel ini?" tanya Ardhan lagi.

"Enggak."

Ardhan mengangguk. Dirinya teramat paham untuk mengerti penolakan yang dilakukan Sea terhadapnya.

"Meskipun kita sudah enggak bersama lagi, setidaknya ada aku kalau kamu butuh teman untuk sekedar mendengarkan ceritamu." Sea tidak mau ambil pusing dengan penawaran Ardhan barusan. Lalu dia berdiri dari pinggir kolam bersiap untuk meninggalkan Ardhan.

"Kalaupun aku butuh seseorang untuk mendengar ceritaku, akan aku pastikan bukan kamu orangnya." ujar Sea sarkatis dan berlalu tanpa menghiraukan panggilan Ardhan. Sea terus berjalan hingga sampai lobby hotel. Sebelum tangannya menarik pintu keluar, sepasang tangan mencegahnya.

"Lepasin aku.." saat Sea menoleh bukan Ardhan yang dia lihat melainkan Bram. Raut wajah Bram menandakan kebingungan yang luar biasa. Terlebih melihat kondisi Sea yang berantakan. Wajah yang memerah dan rambut yang berantakan ke segala arah. "Antar aku pulang, Bram." lirih Sea dan Bram mengerti apa yang harus dia lakukan.

On Air ( Secret Admirer )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang