16. Amnesia

1.6K 136 2
                                    


Sea

"Selamat malam pendengar setia 88,4 FM MX Radio. Balik lagi sama Sea di hari Senin yang ceria ini. Gimana weekend kemarin? Menyenangkan kah? Sea bakal buka sesi curhat dengan tema "Cinta Terpendam". Tapi dengerin dulu lagu dari Ungu dengan Cinta Dalam Hati. Check this out." mulai terdengar intro lagu dari band terkenal itu. Aku melirik ponselku yang sejak tadi bergetar di atas meja. Nama Bram terpampang jelas. Mau apa malam-malam dia meneleponku disaat aku sedang siaran seperti ini. Dengan setengah hati, aku menjawab telponnya.

"Ada apa?" tanyaku sedikit jengkel.

Aku request lagu dong. Kalau bisa jangan yang melow-melow ya. Oh ya, titip salam sekalian untuk Dewi." jawabnya dengan tawa renyah. Apa-apaan dia minta lagu seenaknya. Aku kan enggak buka request lagu. Kepalaku tiba-tiba pusing tujuh keliling mendengar tawa songongnya itu.

"Aku lagi enggak buka untuk request-an lagu. Kalau mau, setiap hari Rabu aja requestnya. Sudah ya aku mau on air lagi. Bye." aku menutup secara sepihak sambungan telepon dengan duda desperate itu. Mas Ubit yang sibuk di belakang layar, melihatku dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku hanya bisa melihat bibirnya yang bertanya 'siapa' tanpa terdengar suaranya. 'Bram' kataku tanpa suara juga. Mas Ubit hanya manggut-manggut. Kemudian dia memberi isyarat bahwa acara akan segera kembali on air.

Jam yang menempel cantik di ruang siaran menunjuk angka 1. Saatnya aku mengakhiri acara untuk hari ini. Mas Ubit pulang belakangan karena masih ada kerjaan jadilah aku yang pulang duluan. Tapi sebelumnya aku menuju pantry untuk mengambil minum. Ruangan pantry sudah gelap pertanda mang Ikin sudah pulang. Aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu.

Klik.

Pantry kembali terang. Aku buka lemari es dan mengambil botol kaca yang berisi air putih dingin. Membayangkan air dingin itu mengalir ditenggorokanku yang kering saja sudah membuatku berkali-kali menelan ludah. Mug besar itu aku isi dengan air dingin dan langsung meneguknya sampai tandas. Ah segarnya! Tenggorokanku kembali basah. Rasanya seperti habis berjalan di padang gurun Gobi dan menemukan oase disana. Sebenarnya aku pantang minum es demi kesehatan.

Tunggu! kenapa tiba-tiba aku merasa bulu kudukku merinding? Telingaku menangkap suara pergerakan kaki yang berasal dari belakangku. Siapa yang dini hari begini masih berkeliaran di gedung perkantoran. Aku hapal betul kalau hanya MX Radio yang masih beroperasi. Enggak mungkin juga mang Ikin karena setengah jam yang lalu dia pamitan untuk pulang. Jadi di lantai ini hanya ada aku dan mas Ubit lagipula aneh ini kan baru hari Senin dan bukan malam Jumat kliwon atau jangan-jangan ada maling yang mau sembunyi disini karena ketauan petugas keamanan di bawah. Nafasku tercekal sambil memeluk erat mug.

"Dooorrrr!!"

"Huwaaaaa!!" aku teriak sekencang-kencangnya dan menutup mata. "Ah tolonggggg! Malinggg! Copet! Rampok!" teriakanku makin kencang bahkan kali disertakan serangan yang membabi buta. Demi keamanan diri sendiri, aku korbankan mug kesayanganku untuk mengetuk kepala seseorang yang dengan sengaja menakutiku.

"Aduhhhh...." Tunggu, sepertinya aku mengenali suara yang merintih itu. Jangan bilang kalau dia adalah..?

"Astaga! Bram! Aduh gimana ini? Masss...masss Ubiiit!"

Apa enggak ada kerjaan sampai selarut malam ini pun, dia kesini? Mau apa coba? Kasihan juga kalau menyaksikannya saat ini. Merintih kesakitan sambil memegang kepalanya. Untung saja mug milikku enggak pecah. Loh kenapa aku lebih memikirkan mug ku? Ah entahlah yang aku takutkan kalau dia sampai kena gegar otak. Tiba-tiba Bram pingsan. Mati aku

"Galak banget sih lo jadi perempuan." kata-kata itu meluncur dari mas Ubit setelah menggotong Bram ke ruang tunggu di studio. Tangannya membuka kedua sepatu pantofel milik Bram lalu kemudian membuka kemeja yang masih dikenakannya itu.

On Air ( Secret Admirer )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang