Part 13 - Past

2.8K 125 3
                                    

Apa yang bisa dilakukan seseorang jika terikat dengan masa lalu?

Sebenarnya, masa lalu bukanlah hal buruk yang harus dihilangkan. Bahagia kita, didapatkan dari masa lalu. Usaha kita, dipacu dari masa lalu. Lalu apa yang harusnya dilakukan?

Kau cukup menyimpannya, bersyukur pada masa lalu atas kebahagiaan yang kau dapatkan sekarang.

Karena masa lalu tidak akan pernah hilang.

Itu yang selalu diolah di dalam otak jenius Gavin. Terus-menerus mengulang teori tadi sebagai pacuannya berjalan. Oh bukan. Bernafas.

Dia butuh teori itu sebagai pernapasannya, agar dapat menghirup udara dengan leluasa.

Tapi kali ini dirinya tersadar, sebuah teori saja tidak mampu membuat jantungnya berdetak memompa darah dengan maksimal. Yang ia butuhkan juga sebuah bukti akan teori itu. Sebuah hal yang seharusnya terterapkan di dalam hidupnya sekarang. Itu akan menjadi alat pembakar alami di jiwanya.

Namun yang terjadi saat ini, detik ini, sepertinya Gavin harus mengubah teori itu. Karena ia sama sekali tidak merasakan kebenaran akan masa lalu.

Mata tajamnya terus tertuju pada sesosok gadis yang tengah menyiapkan masakan di atas teppan. Tangan lentiknya dengan cekatan memberi bumbu dan bermain dengan spatula miliknya. Rambut panjangnya tampak berkilauan meskipun tengah dikuncir oleh sang empunya. Bibir merahnya tampak alami tanpa sentuhan alat rias pun. Gavin tidak mampu memindahkan pandangannya yang terus terhipnotis.

"-vin."

"Gavin."

Seketika Gavin tersentak dari lamunannya dan mencoba tenang. Ia berhasil mengganti pandangannya, beralih pada Aiden yang duduk tepat di depannya. Mangkuk ramen di hadapan gadis itu tampak habis tak tersisa. "kau baik?"

Matanya berganti melirik mangkuk ramennya yang masih penuh. Bahkan mie nya tampak sudah mengembang. "ya, aku baik." katanya cepat, lalu segera mengambil sumpit dengan tergesa-gesa, namun setelah itu ia terdiam dan melihat ke arah Aiden.

"ada apa? Cepatlah makan. Mie nya tidak akan enak nanti."

Gavin melirik lagi ke arah koki restoran jepang itu yang masih tidak menyadari kehadirannya karena kesibukannya memasak pesanan. "aku.. tidak- nafsu makan." ucapnya terbata tanpa memindahkan arah bola matanya.

Aiden mengangkat alisnya, "kenapa? Apa tidak enak?" tanyanya. Gavin menggerakkan bola matanya dengan malas, "bukankah kau yang bilang ingin makan mie? Aku sudah menurutimu." jawab Gavin. "Aku mau mie ayam, bukan mie seperti ini." balas Aiden.

"Lalu kenapa kau memakannya?" ketus Gavin.

"Karena aku suka semua makanan."

Gavin menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya dengan kasar. Gadis di depannya ini memang berbeda, tapi entah kenapa hatinya belum tergerak hingga saat ini. Hanya sesekali saja jantungnya bereaksi pada Aiden, tapi lelaki tampan itu menganggapnya karena Aiden adalah seorang wanita, dan dia adalah laki-laki.

"Ayo pulang, oke?" ajak Gavin dengan seringainya yang kembali terlihat. "mie nya?"

"biarkan saja." kata Gavin yang segera bangkit dan menggapai lengan Aiden. "setidaknya bungkuskan itu untuk adikku."

Seketika darah Gavin berhenti mengalir. Kata-kata yang diluncurkan Aiden seakan memberi cahaya pada kegelisahannya barusan. "kau benar. Tunggulah di mobil, aku akan membungkuskannya untukmu."

"benarkah?" raut wajah Aiden sungguh bahagia, dan anggukannya begitu semangat, lalu ia segera berjalan dengan cepat menuju mobil sedan yang terparkir di luar restoran.

Sementara itu, Gavin menahan nafasnya ketika ia berjalan menuju dapur restoran yang terbuka itu. "permisi." ucapnya rendah.

Sang gadis koki itu segera menghentikan kesibukannya dan mengelap tangannya pada kain yang dikaitkan di pinggangnya, "ah ya maaf, ada yang bisa diban- kamu-" gerakan gadis itu terbata-bata. Matanya yang terlihat seperti riak air bergerak-gerak gelisah. Gavin menyadari itu dan tersenyum pelan, "kenapa kau menghilang?" tanyanya.

Si gadis mengunci bibir merahnya, enggan menjawab pertanyaan to the point dari Gavin. Otaknya berputar cepat ketika dirasanya tatapan Gavin semakin intens pada dirinya.

"Kenapa kau tidak menemuiku?" lanjut Gavin getir. Pertanyaan itu sukses membuat si gadis koki membulatkan matanya, raut bertanya begitu tampak dari wajah cantiknya.

"kau bahkan tidak mencariku."

Gavin tertawa renyah. "kau merendahkanku?" tanya gadis koki. Ia benar-benar takut akan hal ini dari dulu.

"Aku mengelilingi hampir semua negara, dan kau berpikir aku tidak mencarimu, Serra?" bisik Gavin sembari tersenyum kecut. Yang ditanya menghela nafas pelan, "itulah mengapa kau tidak dapat menemukanku."

Serra menarik iris matanya ke arah-arah lain, mencoba menahan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. "maksudmu?" Gavin bahkan tidak dapat berpikir jernih saat ini.

"kau terlalu sibuk mencari terlalu jauh sehingga kau tidak menyadari apa yang ada di dekatmu."

Kali ini Gavin terhenyak. Waktunya terkuras habis untuk tidak sadar akan keberadaan Serra yang sebenarnya tidak pernah meninggalkannya terlalu jauh.

Detik ini, entah kenapa Gavin merasakan perasaan penyesalan yang amat sangat. "mau makan malam?" tangannya menyelusup ke dalam saku jakenya dengan ragu. Serra terdiam, lalu tertawa pelan. "bagaimana dengan wanitamu hah?"

"apa?"

Serra menunjuk ke arah luar restoran tanpa mengalihkan pandangannya dari Gavin, "dia gadis barumu kan?" katanya sambil tersenyum miris. Gavin meneguk salivanya dengan berat. "kau tidak perlu khawatir tentang itu-" keheningan menyelimuti keduanya, "minggu depan. Aku ingin makan malam denganmu." lanjut Gavin. Gadis di depannya itu tampak ragu-ragu untuk mengangguk, mata bulatnya melirik ke luar restoran. Ia melihat Aiden yang mengelilingi mobil Gavin untuk menghilangkan kebosanannya.

"Sepertinya aku tidak-"

"kau sangat tahu aku tidak menerima penolakan."

Kali ini Serra langsung menatap mata lelaki tampan itu lagi, mencari kepastian di dalam matanya. Akhirnya Serra menganggukkan kepalanya pelan.

"kau bisa membungkuskannya untukku?" tanya Gavin sambil menunjuk mangkuk ramen di meja Aiden yang disusul dengan seringai andalannya.

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang