Part 27

2.4K 150 28
                                    

Sebenarnya Aiden ingin terus berjalan-jalan di sisi sungai Musi sambil menunggu sore datang sebelum makan di restoran yang begitu diinginkan Garda. Aiden sempat menawarkan restoran atau gerobak nasi goreng di pinggir jalan yang menurutnya enak. Sejujurnya rasanya tak ada yang bisa mengalahkan buatan restoran apung itu, namun keinginannya untuk tidak kembali ke masa lalu yang sama sekali belum dilupakannya membuat Aiden cukup keras kepala.

Sayangnya, Garda lebih keras kepala. Balasannya selalu saja 'dimana lagi bisa makan di atas sungai?'. Apalagi ketika hari sudah sore, bahkan semburat oranye sudah terlihat di langit, nasi goreng yang menjadi pilihan Aiden, semuanya tutup. Sial? Itulah takdir. Belum lagi hujan yang tiba-tiba mengguyur, membuat mereka harus ke restoran apung itu karena hanya restoran itu yang telah membuka terpal. Aiden ingin mengumpat, tapi kesialannya akan bertambah jika ia menambahkan dosa sekali lagi.

Terpaksa. Aiden ikut menyantap nasi goreng yang rasanya masih sama. Gadis itu sangat ingat tiap jengkal jenis bahan makanan yang diracik bersama nasi goreng itu. Sangat ingat ketika dirinya makan di restoran itu bersama Gavin. Sangat ingat mereka terpaksa membungkus salah satu porsi nasi goreng karena Gavin yang tak bernafsu memakannya. Sangat ingat ketika Aiden akhirnya memutuskan menginap di rumah Gavin. Sangat ingat ketika ia harus memakan nasi goreng Gavin pada dini hari karena pemuda itu telah tertidur lelap. Sangat ingat ketika...

Aiden mencium Gavin. Tepat di bibir, untuk yang pertama kali.

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba menghapus ingatan nista yang tampa bersalah menghancurkan fokusnya hingga ia merasa bersalah karena tak menyimak apa yang dikatakan oleh pemuda tampan di hadapannya.

"Apa nasi gorengnya terlalu pedas? Wajahmu memerah." Garda meletakkan sendoknya di atas piring. Berganti menyentuhkan punggung tangannya pada kening Aiden.

Jujur saja, Aiden merasa darahnya berdesir ketika merasakan tangan hangat Garda menyentuh keningnya dengan lembut. Gadis mana yang tidak akan merasakan hal yang sama seperti Aiden ketika disentuh pemuda setampan Garda?

"Garda." Cicitnya. Sejujurnya Aiden tidak yakin untuk memanggil pemuda tampan itu, namun bibirnya tetap berucap tanpa aba-aba hingga terdengar seperti bisikan parau.

Garda tersenyum kecil menaikkan kedua alisnya. Aiden kembali merasa nyaman dengan senyum lembut itu. "Bolehkah aku bercerita sedikit padamu?" tanya Aiden yang penuh keraguan. Namun ada sedikit sisi darinya yang ingin mengutarakan masalah-masalah yang terjadi padanya meskipun hanya sedikit.

Garda mengangguk semangat. Melupakan nasi goreng udang nya yang terlupakan.

Aiden menyeruput sedikit teh manisnya sebelum mendesah berat.

"Kau pernah jatuh cinta?" Garda kembali mengangguk. Namun senyum indahnya perlahan luntur, menyadari cerita Aiden yang terlihat menyedihkan dari prolognya. "Apa kau pernah bertepuk sebelah tangan?"

Itu bukanlah pertanyaan. Garda menyadarinya. Kali ini Garda tidak yakin. Hampir semua wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya, tidak ada yang bisa menolak pesona mautnya. Kecuali.. Garda menepis isi pikirannya untuk kembali fokus mendengarkan suara lembut Aiden yang saat ini mengalihkan pandangannya dari Garda. Berpindah pada beberapa sampan yang berada di sisi perahunya.

"Bagaimana jika diberi pilihan melepas atau bertahan? Mana yang lebih baik?"

Garda memandang lekat ke arah Aiden yang masih enggan melihatnya. Bukan apa-apa. Hanya saja Aiden tampak lebih nyaman memperhatikan riak air dan sampan-sampan itu. "Tergantung kondisi ku rasa."

"Kondisiku tidak baik. Ku rasa itu artinya harus melepas?"

Garda menghela nafasnya. Ikut menatap objek yang menjadi pengalih perhatian Aiden darinya. "Tidak juga. Melepas seseorang tidak semudah yang dibicarakan orang-orang atau bahkan sahabatmu. Bertahan juga tidak semudah apa yang kau yakini benar."

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang