Part 4 - End Aiden PoV

7K 320 4
                                    

Berkali-kali Aiden merasa kakinya gatal ingin menendang bajingan tengik di depannya. Mengajaknya menikah, memberikannya perkerjaan, mengajaknya makan malam, dan... What tha?? Bayar masing-masing??

Aiden mengusap keningnya dan menarik rambutnya ke atas. Sedikit menjambak. Ia mulai frustasi.

"Ada apa?" Tapi suara berat yang mengalun indah itu, entah kenapa membuat amarahnya mereda. Aiden bersungut.

"Kau tahu kan? Gajiku itu kecil sekali. Dan harus menghidupi keluargaku. Jadi.."

Gavin menghentikan aktifitas memakan pempek nya, dan beralih menatap ke arah Aiden dengan masih mengunyah, "jadi?"

Jelas sekali, Gavin bisa melihat tegukan liur dan kening mengkerut yang dilakukan Aiden.

Gadis itu gugup.

"Bisakah kau yang membayar makanan ini?" Cicit Aiden.

.
.
.
.

"Pfft!"

Udara di dalam dada Aiden tertahan. Hidungnya menarik lagi cukup kuat oksigen baru di sekitarnya. Dirinya merasa sangat malu.

Gavin berhenti menutup mulutnya yang menahan tawa. Dan ia menyeringai.

"Tentu saja.. Tentu saja.."

Aiden mengeluarkan udara yang mengganjal cukup lama itu dengan sekali hentakan. Lega rasanya mengetahui uang simpanan untuk sebulan mu tidak akan terotak-atik untuk hal yang tidak begitu penting.

Tapi.. Bukankah makan itu penting kan?

"Tapi tentu tidak gratis.."

Kali ini Aiden kembali tercekat. Kenapa rasanya ia seperti berolahraga pernafasan? Ia bersungut. "Sama saja dong kalau tidak gratis."

Lelaki di hadapannya itu memiringnya kepalanya dan menopangnya dengan kepalan tangan tertumpu di meja.

Gavin menatap Aiden intens, membuat wajah gadis berpipi gembul itu memerah merona.

"Kau tidak membayar dengan material,.."

Seketika Aiden menatap bingung ke arah Gavin. Apa maksudnya tidak dibayar dengan materi? Aiden masih ingat pelajaran masa sekolahnya dulu, alat penukaran jual beli adalah materi. "Lalu?" Tanyanya pelan. "Dengan apa?" Lanjutnya disertai penurunan oktaf suara yang cukup drastis hingga menyerupai bisikan.

"Pernikahan."

******

CKLEK

Suara pintu mulai berderit pelan, disusul dengan suara bergeruduk dari balik dinding kamar. Aiden menghela nafasnya dengan berat.

Adiknya kembali menungguinya hinga dini hari.

"Kenapa belum tidur?" Tanya Aiden sembari melepas sepatu usang nya di balik pintu. Danu menatapnya intens. Wajah putihnya tidak berekspresi. Aiden mengerutkan keningnya dan segera menghampiri Danu. "Ada apa?"

Adik kecilnya itu mulai mengumpulkan kristal di balik pelupuk mata bulatnya. "He-Hey.. Kenapa kamu menangis?" Aiden dapat mendengar suara dari rasa kekhawatirannya sendiri membuat bahu Danu semakin bergetar.

"A..A-Aku.."

"Ya? Kau kenapa?" Kemudian Aiden menurunkan tas selempangnya dan mengeluarkan tisu dari dalam tasnya. Perlahan menyisipkan tisu itu ke dalam genggaman sang adik.

"Ti-Tidak. Se-sebenarnya.."

Jantung gadis muda satu-satunya di dalam rumah itu semakin berpacu cepat. Ada apa gerangan?

Danu menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan getaran sedihnya.

"A-aku tidak me-menangkan undian-nya.."

.
.
.
.
.
.

"Hah?"

Lelaki kecil itu mulai benar-benar mengeluarkan air matanya dan berjatuhan ke pipi chubby miliknya. "Aku tidak bisa memenangkan undiannya, kak! Ternyata harus mempunyai T-A-M dan aku tidak mengerti apa itu!" Cecar Danu di sela tangisannya.

Aiden mematung.

Banyak sekali kalimat yang ingin ia lontarkan pada Danu. Tapi jika melihat kondisi waktunya, ngedumel pada dini hari mungkin bukan pilihan yang bagus. Dan apa itu? TAM? "Apa maksudmu ATM?"

Entah kenapa pertanyaan Aiden membuat Danu semakin sesenggukan.

Aiden menggeser kakinya dan bangkit. Menepuk bahu Danu dan mencengkramnya sedikit, "Danu.."

Merasa namanya dipanggil, Danu mengusap matanya dan melihat ke arah Aiden yang.. melontarkan death glare pada adiknya itu.

"Kau harus ingat, kau adalah anak laki-laki." Katanya di sela tatapan menusuk yang masih diarahkannya pada Danu.

Danu mengangguk, diikuti dengan Aiden yang melepaskan tangannya dari bahu Danu dan berjalan ke kamar.

"Kak?"

Seketika Aiden menoleh kembali pada Danu. "Hm?"

"Kau dapat uang darimana sampai rela membeli tisu?"

"..."

"Serius kak!"

Aiden menghela nafasnya dan kembali mendekati adiknya. Kali ini duduk. Ia merasa akan bercerita panjang pada adiknya.

"Ada apa?" Rupanya Danu cukup pintar dalam membaca hati dari ekspresi wajah seseorang.

"Pertama, aku tidak mau kau memberitahukan hal ini pada ibu dulu. Biar nanti aku saja yang memberitahunya. Oke?"

Danu mengangguk. Ia bahkan menggigit kelingkingnya dan mengulurkannya pada Aiden. Gadis itu tersenyum puas. Adik kecilnya memang bisa diandalkan. Ia membalas uluran kelingking Danu dan mengaitkannya.

"Lalu? Apa yang kedua?" Tanya Danu. Mata bulatnya mengerjap penasaran. Aiden menutup matanya dan menarik nafas panjang, kemudian dihembuskannya kembali secara perlahan. Lalu gadis itu membuka matanya, menampakkan berlian berwarna emas di balik bulu mata nan panjang yang memantulkan cahaya remang rumah mereka.

"Hey- aku ingin menikah."

**********
Thanks yang sudah menunggu Beautiful You^^ sebagai gantinya, aku update h-3 sebelum aku UN nih hehe so.. Terima kasih lagi ya^^

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang