Part 18

2K 125 14
                                    

Sekarang hujan kembali turun untuk yang kedua kalinya. Kali ini lebih deras dengan angin yang sangat kencang. Sepertinya tubrukan air hujan pada atap dan jendela restoran membuat suara Gavin tidak sampai ke pendengaran Aiden. Ia pun memberi syarat untuk pergi, lalu mengangkat lengan kekarnya untuk meminta bill.

Di mobil, kedua insan itu terdiam, sibuk dengan dirinya masing-masing. Keheningan malam menyelimuti keduanya. Yang terdengar hanya suara air hujan yang menabrak body mobil Gavin. Laki-laki itu fokus dengan jalanan, sedangkan Aiden mengamati dan mengelus pelan interior mobil mewah kekasihnya.

Aiden membatin ketika wangi aprikot dari kursinya menyeruak masuk ke dalam indra penciumannya. Tidak begitu menyengat, samar namun tercium dengan baik. Seketika Aiden tersadar. Bukan.

Bukan itu.

Wangi tubuh Gavin adalah teh hijau, dan wangi itu masih tercium dari tubuh kekasihnya. Wangi aprikot yang dicium Aiden ini berbeda, wangi ini berada di kursinya, di kursi kemudi, seluruh ruangan dalam mobil, dan... kemeja hitam Gavin.

Manik keemasan Aiden melirik Gavin dengan sendu. Ia tersadar akan sesuatu. "Apa kau menyukainya?" Cicit Aiden.

Memang Aiden adalah seseorang yang cukup blak-blakkan untuk mengutaran maksud dalam pikirannya. Namun pertanyaannya itu cukup ambigu untuk Gavin yang membalasnya dengan arah yang berbeda.

"Serra?"

Ingin rasanya Aiden membantah kuat-kuat mendengar balasan Gavin. Bukan itu yang dimaksud Aiden tentu saja. Itu terlalu.. Sarkastik.

"Tentu saja." Jawab Gavin pelan, disusul dengan smirk yang membuat Aiden mengarahkan pandangannya ke arah jalanan kosong yang basah karena hujan.

Setelah membawa pulang makanan jepang untuk ibu dan Danu, serta meminta izin untuk tidak kembali pulang ke rumah, sekarang mereka telah sampai ke tujuan utama Gavin. Tak jauh dari mereka, terlihat sebuah gedung yang berukuran sedang.

Aiden kesusahan ketika mengikuti langkah lebar Gavin semenjak turun dari mobil untuk masuk ke dalam gedung tersebut. Begitu mereka masuk, beberapa orang dengan headphone tipis di kepala mereka berlari kecil mengikuti Gavin tanpa menghiraukan gadis di belakangnya yang terlihat takjub dengan sekelilingnya.

Gedung itu tidak terlalu besar, namun mempunyai ruang yang luas. Juga ada pot-pot tanaman yang membuat ruang tersebut tampak segar meskipun malam sekalipun.

Brugh

Aiden meringis pelan dan mengelus dahinya. Ia mendongak dan mendapati punggung Gavin yang menggeleng malas melihat Aiden.

"Aku ingin memakai studio. Tolong kosongkan." Ucap Gavin pada seorang perempuan yang memakai headphone. "Tapi Michael sedang rekaman? Apa tidak masalah?" Tanya perempuan itu. Gavin menjawabnya dengan anggukan pelan, kemudian perempuan itu pun segera berteriak pada staff-staff yang berada di dalam studio di samping kiri Gavin.

Dirasanya sudah beres, Gavin segera menarik lengan kurus Aiden masuk ke dalam ruangan studionya dan mengunci pintu. "I-ini apa?"

"Studio."

"Studio?"

"Studio musikku." Kata Gavin seraya mendudukkan dirinya di atas meja besar. Ia memperhatikan kekasihnya yang terlihat begitu takjub sambil berkeliling di studionya tersebut. Aiden sibuk ber-"oh" ria setiap Gavin menjelaskan fungsi alat-alat asing bagi gadis it.

Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah dua jam mereka berada di dalam studio dan Gavin mulai menguap. Ia berjalan ke arah sofa kulit di dalam studio dan merebahkan tubuh jangkungnya.

Aiden hendak bertanya tentang ruangan lain yang hanya dibatasi oleh kaca di hadapannya pada Gavin, namun ketika ia melihat lelaki itu tertidur dirinya pun mengurungkan niat tersebut.

Gadis itu berjalan ke arah Gavin dan perlahan berjongkok di hadapan laki-laki tersebut. Aiden menyangga kepala kekasihnya itu dengan tangan kurusnya. "Bukankah tidur tanpa bantal akan membuat lehernya pegal? Aku tidak tahu dia juga bisa bodoh." Gumamnya pelan.

Kemudian gadis itu pun menyentuh kening Gavin dan mengelusnya lembut mengarah ke rahang kerasnya. Hal itu membuat Aiden tersenyum malu-malu. Ia baru sadar jika tunangannya ternyata sangatlah sexy.

Tiba-tiba Gavin mengerjapkan matanya dan menampakkan manik sekelam malam yang menatap Aiden hingga gadis itu merona menahan malu. "Kemarilah. Berbaring disisiku."

Gadis itu tampak ragu-ragu untuk bangkit dan duduk di samping Gavin. Namun laki-laki itu menepuk-nepuk sisi sofa kulitnya yang kosong, membuat Aiden merebahkan tubuhnya dengan perlahan.

Aiden menggeliat mencari posisi yang nyaman ketika dirasanya ia  mempunyai space yang sempit. Tubuhnya menempal pada Gavin dengan begitu intim. Bahkan Aiden dapat merasakan hembusan nafas berat Gavin di belakang tengkuknya.

Gavin meletakkan telapak tangannya pada bahu kurus Aiden, lalu menyandarkan keningnya ke punggung gadis itu. "Maafkan aku, sayang."

Aiden tercekat. Seketika dadanya terasa sesak dan nyeri. Inilah jawaban dari keraguannya sejak Gavin menghubunginya melalui telepon. Mengapa Gavin bersikap manis. Laki-laki itu merasa membuat kesalahan.

"Apa ada yang salah?" Lirihnya.

Gavin semakin mengeratkan tangannya di bahu gadis itu. Ia tak mampu melihat wajah Aiden, itu membuat dirinya semakin merasa bersalah. Gavin bahkan tak mampu untuk sekedar menenangkan Aiden yang tubuhnya mulai bergetar dengan memeluknya.

"Aku menyakitimu."

Dirasanya tubuh Aiden menegang, ia sangat tahu apa yang coba ingin Gavin sampaikan padanya. Aiden mencoba menahan tangis yang seharusnya sudah terjadi sekarang. Gadis cantik itu mencoba menghirup banyak oksigen di sekitarnya dan menghembuskannya dengan cepat berulang-kali.

"Tidurlah." cicit Aiden sembari meletakkan jemari kurusnya ke tangan Gavin yang mencengkram bahunya dengan cukup keras dan mengelusnya lembut.

Oh.. Kau sangat menyakitinya, Gavin.

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang