Part 22 - Temptation

2.2K 150 9
                                    

Sudah seminggu Aiden mengurung diri di rumahnya. Meminta izin libur panjang pada seluruh bos kerja paruh waktunya. Gadis itu hanya keluar rumah untuk membeli sesuatu di mini market 24 jam atau sekedar menyiram tanaman di halaman rumahnya dan memberi makan kucing jalanan yang sering mampir ke rumahnya.

Selama ini Gavin tidak menghubunginya sama sekali, dan Aiden juga tidak ingin menghubungi lelaki itu lebih dahulu serindu apapun dirinya. Menyadari bahwa lelaki itu butuh waktu. Kadangkali Jean atau John mengirimkan pesan teks dan meneleponnya, menanyakan kabar gadis itu. Nada khawatir sering terdengar dari Jean, membuat Aiden tersenyum lirih mendengarnya. Bahagia.

Ibunya dan Danu juga tampak gelisah. Lebih baik jika Aiden hanya tidak ingin berbicara banyak. Namun gadis itu juga hanya makan dua hari sekali. Membuatnya berubah begitu kurus dari biasanya. Dahlia terus bertanya tentang apa yang terjadi, namun karena anak sulungnya itu tetap mengatupkan bibirnya, ia pun berhenti. Membiarkan anaknya berpikir. Setidaknya anak gadisnya itu bukanlah orang-orang yang tidak bersyukur akan hidup. Dahlia cukup tenang dengan itu.

Pagi ini, Aiden pamit pada Dahlia untuk pergi ke kantor pos. Ia ingin mengambil uang pensiunan ayahnya yang semasa hidupnya merupakan pegawai negeri sipil.

Menggunakan angkutan umum dan berhenti di bangunan bercat putih gading. Setelah membayar angkutan itu, ia berjalan masuk ke dalam. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi, dan antrian itu tampak sudah memanjang seperti ular. Gadis itu mengambil tempat, menunggu dengan sabar.

10 menit berlalu, Aiden sudah merasakan kakinya kesemutan. Ia bersandar pada pilar yang untungnya berada di sampingnya.

"Lama sekali ya?"

Aiden terkejut. Ia menoleh ke sampingnya dan mendapati lelaki yang.. Err.. lebih tampan dari Gavin tertawa kecil melihatnya. Aiden menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir nama Gavin dari benaknya. "A-ah iya."

Laki-laki itu tersenyum. Menampakkan dereta giginya yang begitu putih. Mata Aiden terpaku, lalu pamdangannya berpindah pada jas putih yang dipakai laki-laki itu. "Apa itu-"

"Ah benar! Aku lupa melepasnya. Astaga- aku pasti menjadi bahan sorotan dari rumah sakit hingga kesini."

Aiden terkikik kecil melihat tingkah laki-laki itu yang segera melepas jas putihnya dan menyampirkannya di bahu lebarnya.

"Oh? Aku tidak sopan sekali. Perkenalkan, aku Garda Wyatt. Aku dokter anak di rumah sakit samping kantor pos. Sering-seringlah berkunjung."

Tangannya terulur. Begitu putih, melawan kulit Aiden yang kusam. Ia cukup malu membalas uluran tangan Garda.

"Aiden. Aiden Jun. Sayangnya aku tidak memiliki riwayat penyakit yang parah untuk ke rumah sakit."

Garda melebarkan senyumannya. "Namamu unik. Oh- wajahmu terlihat tidak baik. Bukankah itu salah satu alasan yang bisa ku pakai untuk memasarkan rumah sakitku sebagai pilihanmu?"

Aiden merasakan aliran darah mengalir begitu cepat ke pipinya. Merasakan hangat yang rasanya begitu nyaman. "Yahh- kurasa aku akan mencobanya kapan-kapan."

"Yeah!"

"Oh- kenapa kau kesini?"

Garda menaikkan alisnya, "apa aku tidak boleh kemari?"

"Tidak! Bukan itu! Maksudku- eumm-"

Laki-laki tampan itu tertawa melihat tingkah panik Aiden. Ia mengacak rambut Aiden yang jauh lebih pendek darinya. Aiden baru menyadari itu. Garda mempunyai tinggi di atas rata-rata orang Indonesia. Seperti super model. Mungkin.. 180-an?

"Aku membantu pasienku untuk mengambil uang pensiunannya disini." jawabnya tanpa menunggu Aiden menyelesaikan maksudnya. Gadis itu terkejut. "Ah! Aku juga."

"Kau berumur 50-an? Wah- aku tidak menyangka."

Pukulan kecil hinggap di bahu lebar Garda. "Hey! Maksudku ini pensiunan ayahku, bukan aku yang pensiun."

Keduanya kembali tertawa terpingkal-pingkal hingga seorang ibu di belakang mereka berseru menyuruh keduanya memajukan langkahnya. Tidak sadar antrian di depan Aiden sudah berkurang beberapa orang.

Aiden merasakan ada yang salah. Jantungnya berdegup lebih kencang. Perasaannya menghangat. Perasaan yang sama ketika Aiden bertemu dengan Gavin.

Kebahagiaan. Gadis itu merasakan kebahagiaan.

Bibirnya tidak berhenti mengulum senyum menanggapi candaan Garda yang begitu mengocok perut. Keduanya baru bertemu 15 menit, namun mereka merasa seperti sudah saling mengenal lama.

"Aiden."

Darah gadis itu berdesir mendengar suara lembut Garda yang memanggilnya. Ia menengok, mendapati Garda yang menatapnya lembut.

".. maukah kau bertemu lagi denganku?"

*
*
**
*
*

Mina Aozora tampak mengatupkan rahangnya dengan kuat. Amarahnya yang meledak-ledak berusaha dibendungnya. Tangan keriputnya di genggam lembut oleh Keyta, yang tampak tak jauh berbeda dengan ekspresi Mina.

Hannah menggenggam tangan suaminya yang hampir ingin menampar anak bungsunya. Meringis dengan apa yang baru saja dikatakan Gavin, berharap Gavin sedang mabuk. Itu lebih baik daripada benar-benar menghancurkan nama baik keluarga mereka.

Gavin tak bergerak. Maniknya terus membalas tatapan tajam sang ayah yang baru saja ingin menamparnya.

"Kenapa berhenti?"

"Aku tidak mengajari kekerasan."

Gavin terkekeh melihat ayahnya kembali duduk di kursinya. Mina mengeratkan tangannya yang mengatup. "Kau bilang ingin membatalkan pertunangan?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Serra kembali. Dengan anak kami."

Tawa Mina menggelegar ke seluruh penjuru rumah mewah itu. Orang tertua di antara mereka itu tampak memandang remeh ke arah Gavin yang masih menatapnya.

"Kita bahkan tidak yakin itu adalah anak kandungmu atau orang lain."

Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Mina, menatapnya penuh keterkejutan atas apa yang baru saja terlontar dari bibirnya yang mengering.

"Jangan asal bicara tentang Serra.." desis Gavin. Mencoba masih menghormati neneknya itu.

".. bukankah kalian saat itu juga menyukai Serra karena sikap hangatnya? Bukankah kalian yang melarang keras kami bercerai? Kenapa saat ini kalian malah tidak ingin kami bersatu kembali?" Nafas Gavin memburu.

"Nak, apa kau tidak memikirkan Aiden?"

Suara lembut dari Hannah, ibunya, tampak menohok Gavin. Ia mengendurkn ototnya yang menegang sedari tadi. Pikirannya kembali pada sosok gadis yang baru hadir di hidupnya. Gadis yang dipaksanya untuk masuk ke dalam hidup Gavin, hingga gadis itu merasakan kesedihan yang menyiksa batinnya.

"Serra menikahimu karena kau mabuk dan menghamilinya! Sayang sekali ia keguguran, meskipun akhirnya ia berhasil membawa keturunan untukmu."

Kali ini Keyta yang mengeluarkan suaranya, mencoba melepaskan perasaan sebalnya pada adiknya itu.

"Meskipun saat itu aku mabuk, aku benar-benar mencintainya. Karena itulah aku depresi karena dosaku yang kesekian kalinya pada Serra, membuatnya meninggalkanku."

Gadis berambut hitam yang tampak mirip dengan Gavin itu menghela nafasnya dengan berat, "Mungkin perceraian kalian dulu juga adalah salahmu, tapi itu membuktikan jika Serra memang bukan takdirmu." lanjutnya.

"Lalu mengapa Tuhan mempertemukan kami? Disaat aku telah memilih Aiden? Bukankah itu artinya Aiden adalah cobaan yang harus kami lewati?"

"Kau bilang Aiden adalah cobaan?" Leon mendesis.

"Kau lah yang merupakan cobaan untuknya, Gavin."

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang