Part 11 - Oh Yea, Thank You

4.7K 230 10
                                    

Gerimis yang awalnya kecil berubah menjadi air yang turun dengan deras dengan angin kencang yang berhembus secara terus-menerus. Aiden lama menatap pohon besar di depan halte tempatnya berteduh. Takut-takut pohon itu akan jatuh menimpa halte.

Sudah hampir dua jam hujan tak kunjung berhenti. Bukan masalah dingin, hanya saja ia bosan sekali berada di tempat yang sama, tidak ada yang bisa dikerjakannya, dan ia sendirian. Actually, tadinya masih ada beberapa orang yang silih berganti menunggu di halte. Tapi mereka juga silih berganti pergi dari halte, menyisakan Aiden yang menggetarkan kakinya.

Bukan. Ia tidak kedinginan. Tapi perasaan tak ada yang bisa ia lakukan membuat dirinya gemas. "Hoy." Aiden segera menengok ke arah suara.

Gavin berdiri tegap sembari menutup payung transparannya. "Kenapa kau belum pulang?" tanyanya tanpa melihat ke arah Aiden, masih sibuk dengan payung lipatnya. Aiden terhenyak sesaat, lalu tiba-tiba ia tersenyum sumringah.

BRUGH

"oh syukurlahh! Sungguh benar-bemar syukurlah kau kemari!"

Gavin mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia melihat kondisi dirinya yang merentangkan kedua tangannya akibat gadis itu yang tiba-tiba berlari kencang dan menghantam tubuhnya sambil mengucapkan syukur. "apa yang kau lakukan??" teriak Gavin sambil mencoba melepaskan dirinya dari cengkraman pelukan Aiden.

"Aku saaaaaaangat bosan. Kau tahu?" kata Aiden sembari melepas pelukannya perlahan.

Gavin menyeringai. Ia sangat mengerti kondisi disini sekarang. "aaa~ begitukah? Kau bosan?" tanyanya. Ia melangkahkan kaki kanannya, dan itu sukses membuat Aiden membawa kaki kirinya melangkah mundur. Gavin terus melangkahkan satu-persatu kaki-kakinya secara bergantian hingga menggiring Aiden ke pinggir halte. "A-ada apa?" tanya Aiden ragu. Ia mulai merasakan rintik hujan mengenai belakang pakaian dan juga rambutnya.

Gavin semakin bersemangat. "Kau tahu?" tanyanya sembari mengetukkan kaki panjangnya di lantai.

"a-apa?"

"Aku juga bosan, beyonce."

"la-lalu?"

"Hasta la Vista, Baby."

"hah???"

Gavin mengedipkan satu matanya dengan seringai yang tak kunjung menyusut. Sungguh ekspresi yang nakal, atau... sexy?

Tepat setelah itu, bagai memakan bidak catur, Gavin melangkahkan langkah terakhirnya hingga sampai ke pinggir halte. Lalu membuat Aiden terdorong ke luar halte, merasakan jatuhnya air hujan yang sangat deras dengan terpaan angin yang semakin menusuk tulang. Gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna dua hal.

Pertama, air hujan lah yang membuat dirinya terus mengedipkan matanya berkali-kali, semakin terasa perih.

Kedua.... apakah ada yang salah dengan tunangannya itu?

"kau-"

Cup

"eh?"

Aiden membuka mulutnya, terdiam dengan nafas yang tercekat. Perlahan ia mengangkat lengannya, lalu mengusap pelan permukaan bibir ranumnya.

Cup

Kali ini dapat membuat Aiden menengadahkan kepala, menatap Gavin dengan ekspresi keterkejutannya.

"apa kau speechless?" tanya Gavin masih dengan senyum nakalnya.

"apa?"

Cup

"e-eh? Itu... kau-" beberapa kali Aiden mengusap bibirnya berkali-kali, dan wajahnya menoleh ke segala arah, menghindari tatapan Gavin yang intens. "kau menciumku?"

Gavin mendecih, sekarang ia benar-benar yakin tunangannya itu berpikir lambat. "otak ikan." gumamnya.

"siapa?"

"kau."

"aku? kenapa otak ikan?"

"bodoh."

"apa ikan punya otak?"

"apa pembicaraan ini penting?"

Aiden mengerjapkan matanya dan menunduk lesu, "t-tidak." Gavin mendesahkan nafasnya berat, "Terima kasih- dan kembali kasih."

"hah?"

"kau mengirimkan bunga dengan arti terima kasih. Jadi ciuman pertama tadi sebagai ucapan terima kasih karena mengagumiku atau sejenisnya, dan kembali kasih atas pernyataan rasa terima kasihmu." jelas Gavin. Raut wajahnya yang biasanya dipenuhi senyuman nakal atau kerutan di dahinya, berganti senyum tulus yang membuat auranya terasa memenuhi area bernafas Aiden.

Gadis itu seperti bernafas menggunakan karbondioksidanya, sangat sesak dan lupa cara mengambil kadar oksigen di kelilingnya. "aku tidak tahu kenapa tiba-tiba wajahku terasa panas." katanya. Ia menjulurkan punggung tangannya dan menyentuh pipi bulatnya, "apa hanya perasaanku?" gumamnya. Gavin tidak bisa menyurutkan senyumnya, ia memperhatikan tingkah lucu gadis di hadapannya yang mencoba memahami 'hati'.

Tak lama Gavin ikut mengarahkan tubuhnya keluar dari halte, berdiri berhadapan dengan Aiden yang masih berpikir keras. Air hujan menghujam tubuhnya yang terbalut mantel tebal dengan ganas, sedikit meringis ketika dirasanya air hujan itu terlalu keras menjatuhkan diri di wajah tampannya.

Ia mencoba dengan susah payah untuk membuka matanya sejelas mungkin, menatap Aiden yang telah berada tak lebih dari tiga puluh sentimeter darinya. Gavin menahan nafasnya sejenak dan berpikir gadis itu aneh. Dilihat dari manapun, Aiden tidak mengeluh kedinginan, bahkan tidak terlihat menggigil. Hanya bibirnya yang terlihat mulai tidak berwarna. "kau kedinginan?" tanyanya. Aiden menengadah dan memiringkan kepalanya, "tidak- Ah! Kau juga suka hujan-hujanan?"

Sialan.

Rencana Gavin membuat pingsan gadis itu benar-benar kacau. Ia ingin membuat Aiden kedinginan atau pingsan saja jika terpaksa, lalu membawanya ke rumahnya. Kenapa dia tidak tinggal meminta langsung ke Aiden? Oh itu- "lupakan." gumam Gavin.

Mana tahu dan tidak ada berita apapun mengenai daya imun Aiden yang melebihi para gadis biasanya. Bukankah memalukan? Aiden membuat jarak lebih dan mengecek motornya, "kasihan motorku. Ku rasa aku harus tetap melanjutkan perjalanan." katanya seraya bersiap memakai helm nya kembali.

Hal itu gagal ketika Gavin dengan sigap meraih helm Aiden dan berlari menjauh ke arah rumah besarnya.

Suara hujan meredam teriakan Aiden dan sumpah serapah yang hampir tak pernah ia gunakan selama hidupnya.

******************************************

Maaf ya lambat update, dikarenakan berpikir menguras tenaga dan kandungan a

Beautiful You [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang