Chapter 6 : Pelipur Hati

4.7K 607 29
                                    

Sora melepas napas yang sedari tadi ditahannya. Ia lalu menarik napas pelan, berusaha untuk menyingkirkan gumpalan besar yang kini berada di dadanya. Gadis remaja itu menekuk mulutnya ke atas, membentuk sebuah senyuman yang hanya membuat dirinya terlihat semakin menyedihkan. Namun bukan Sora namanya jika ia akan menangis hanya karena patah hati. Tidak. Dia tidak akan menangis hanya karena patah hati.

Dengan gerakan berlebihan dia menyemangati dirinya sendiri, di dalam hati dia mengingatkan jika ini merupakan resiko yang harus ditanggungnya atas kenekatannya.

"Menangis saja!"

Sora mengerjapkan mata, terkejut. Ia lalu menoleh ke arah belakang dimana Hide berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana jeans-nya. Pria itu berdiri di sana, menatap lurus Sora, terlihat sedikit kikuk? Ah, mungkin itu hanya perasaan Sora saja. Hide tidak mungkin terlihat kikuk, terlebih di hadapannya. Pria itu jelas memiliki kepercayaan diri tinggi, malah sangat tinggi, dan terkesan arogan menurut Sora.

"Menangis saja kalau mau menangis, kenapa harus menahannya?" tanya Hide tanpa bisa menahan diri untuk bertanya, sementara Sora menatapnya dengan kerutan dalam. "Ck, kenapa tidak menangis?" Hide kini bertanya dengan nada tidak sabar. Pria itu mendengus, mengacak rambutnya kasar lalu berjalan mendekati Sora yang hanya menatapnya dengan kening yang ditekuk semakin dalam. "Tidak perlu menahan diri." Hide berhenti sejenak untuk meletakkan tangan kirinya di depan dada. "Menangis bisa meredakan rasa sakit di sini," tambahnya dengan penekanan pada kata terakhirnya.

Sejauh ini Sora tidak meneteskan air mata. Seperti apa yang ada di dalam pikirannya-untuk apa dia menangis? "Untuk apa aku menangis?" ia balik bertanya dengan dagu terangkat, membuat Hide mengangkat sebelah alisnya, terkejut. "Tidak ada yang perlu kutangisi," tambah gadis remaja itu dengan nada tenang mengagumkan.

"Kau yakin baik-baik saja?" Hide kembali bertanya dengan nada menyelidik. "Seorang wanita patah hati biasanya akan menghabiskan waktu lama untuk menangis."

Sora menundukkan kepala, bahunya bergetar. "Tapi aku tidak mau menangis," katanya sedikit tercekat. Sora memukul dadanya pelan, berusaha untuk menyingkirkan rasa sakit dan sesak yang membelenggu dadanya saat ini. Ayolah, bukankah dia berkata pada dirinya sendiri jika ia tidak akan menangis hanya karena patah hati?

Ayahnya selalu mengatakan jika ia anak yang kuat, karenanya Sora selalu berpikir jika menangis bukanlah sesuatu yang pas untuknya, walau ia seorang wanita.

"Dasar keras kepala!" gumam Hide nyaris tak terdengar. Pria itu merengkuh tubuh Sora ke dalam pelukannya. Jangan bertanya kenapa ia melakukan hal ini, karena sesungguhnya Hide sendiri pun tidak tahu kenapa ia harus ikut campur dalam masalah percintaan Sora.

Mereka bahkan baru mengenal beberapa hari, dan pertemuan keduanya selalu saja diwarnai oleh pertengkaran-pertengkaran kecil. Namun melihat bahu Sora yang bergetar menahan tangis entah kenapa membuat Hide tersentuh. "Menangis saja!" bujuknya lembut, sementara tangan besarnya menepuk-nepuk punggung Sora pelan, seolah mengatakan pada wanita muda dalam pelukannya jika semua akan baik-baik saja.

"Kenapa rasanya sesakit ini?" Sora bertanya serak, suaranya teredam oleh tangisan pilunya. Hatinya berdenyut sakit, amat sangat sakit saat ini. Ia meremat kaos yang dikenakan oleh Hide, menumpahkan air matanya dan kesedihannya dalam dada kokoh pria itu. "Aku menyedihkan bukan?" tambahnya parau, diakhiri oleh kekehan pahit.

Hide menghela napas, seolah bisa merasakan sakit yang kini dirasakan oleh Sora. Bagaimana pun kisah keduanya hampir serupa walau tidak sama. "Kau seorang pemberani," hiburnya membuat kekehan Sora kembali terdengar.

Sora mengangkat kepalanya, mendongak menatap Hide. Ia tidak pernah sedekat ini dengan pria lain sebelumnya, bahkan ini kali pertama Sora dipeluk oleh pria selain keluarganya. "Kau benar, aku memang naif," katanya dengan suara tercekat. Sora mengerjapkan mata, saat Hide menghapus jejak air mata di pipinya dengan ibu jarinya. "Memperjuangkan sesuatu apa?" cicitnya, mencemooh dirinya sendiri. "Aku tahu sejak lama jika Kato tidak pernah mencintaiku, aku hanya terlalu egois dan memaksakan kehendakku."

TAMAT - Out Of My LeagueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang