It hurts because it matters.
"Diterima Yah?"
"Alhamdulilah diterima."
"Alhamdulilah..."
"Tapi Ayah belum kasih tau semuanya. Dia termasuk gadis yang tidak banyak bertanya, dan penurut. Ayah bahkan tidak menyebutkan siapa nama orang yang akan menjadi tunangannya."
"Nggak apa-apa Yah. Biar misterius. Hahaha."
"Abang kamu kemana?"
"Lagi pergi sama Bunda."
"Oh yaudah. Ayah mau istirahat dulu ya..."
Aku menghela nafas.
Gadisku memang seperti itu. Tidak cerewet dan tidak banyak bertanya. Dia masih gadisku yang dulu.
Hey? Gadisku?
Seberapa lama aku menyebutnya gadisku dalam pikiranku?
Dia bukan lagi gadisku mulai sekarang.
Tuhan, kenapa aku harus melakukan kesalahan sefatal ini?
Andai saja waktu itu aku bisa menahan diri, pasti yang bersamanya itu aku.
Aku yang diam-diam mengamatinya ditaman sekolah ketika jam istirahat.
Aku yang diam-diam memperhatikannya di upacara kenaikan bendera.
Aku yang diam-diam memperhatikannya ketika dia olahraga di lapangan.
Harusnya aku yang bersamanya.
Aku yang lebih dulu mengetahuinya.
Lankey... Gadisku... Selamat... Berpisah.
Ugh. Aku tidak menangis. Hanya saja mataku sedikit berair.
Entahlah, namun aku baru menyadari bahwa penyesalan selalu datang diakhir.
Aku sadar itu.
***
"Bang, selamat ya." Aku membuka pembicaraan saat aku dan satu-satunya saudara laki-laki yang ku miliki sedang berada dalam mobil. Kami dalam perjalanan menuju ke sekolahnya.
"Selamat buat apa?" Aku menoleh melihat abangku yang pandangannya fokus kejalan.
"Lo itu mau nikah." Balasku anteng.
"Hah?! Don't kidding me!"
"Dih nggak ada kerjaan amat gue ngerjain elu."
"Gue mau nikah sama siapa?"
"Ntar aja deh elu tanya sama Ayah. Sebenarnya Ayah udah mau cerita semalam, tapi lo lagi pergi nemenin Bunda."
Hening.
Keheningan di mobil berlanjut sampai kami sampai ke sekolahnya.
"Dadah abang. Dedek love you bang." Ujarku manja saat dia keluar dari mobil.
"Najis." Balasnya sebelum menghilang ke balik pagar besi sekolahnya.
Aku lalu pindah ke kursi kemudi.
***
4:35 PM
Shawn Mendes: L dmn?
Jangan tertawa dengan display name abangku yang satu ini. Dia suka sekali mengganti display name nya di LINE. Meskipun dia dingin, tapi percayalah setiap orang punya sisi humorisnya masing-masing.
Rezka Arga: Dirumah. Mandiin burung
Shawn Mendes: Wtf. Kita ga melihara burung
Shawn Mendes: Hmm... jangan-jangan...Rezka Arga: Burung tetangga
Shawn Mendes: Kirain burung anu
Shawn Mendes: Jmpt gwRezka Arga: Minta jemput aja lama bgt basa-basinya
Rezka Arga: Oke"Om Egi, burungnya udah seger nih... Rezka mau jemput abang dulu ya." Teriakku pada Pak Egi, tetanggaku yang burungnya kusemprot-semprot, eh kumandikan.
"Iya. Makasih ya." Mendengar jawabannya aku segera meraih kunci mobil didalam saku celanaku. Lalu mengendarai mobil menuju sekolah.
Memang seperti ini keseharianku. Sekolah abangku tidak boleh membawa kendaraan, entah apa alasannya.
20 menit kemudian, aku sampai. Jarak antara rumah dan sekolah ini memang agak-lumayan-sedikit- jauh.
"Afternoon, Shawn." Sapaku ketika tubuh tegap sang abang masuk kedalam mobil.
"Too. Thank you for make me waiting." Balasnya dengan senyum kecut.
"Like you don't know how far your school and our house." Aku tak mau kalah.
"Alibi." Guess, kami sekarang terlihat seperti pasangan labil yang baru jadian. Sang cewek ngambek karena sang cowok telat menjemput. Astaga.
"That's fact, babe." Ujarku membujuk sang pacar, eh sang abang.
"Ewh. I'm not your babe." Kali ini mata elangnya mengintimidasiku. "Jalankan mobilnya. Sekarang." Titah sang raja, eh sang abang.
Akupun menjalankan mobil berwarna putih mettalic ini.
"Demi rambut Mike Clliford yang seperti bunglon. Cepatlah sampai dirumah." Ujarnya tak sabaran ketika kami berhenti karena lampu berwarna merah.
"Kenapa emang?" Tanyaku kepo.
"Gue nggak fokus seharian disekolah gara-gara pengen nanyain Ayah perihal perjodohan itu."
Hatiku lagi-lagi terasa seperti ditikam ribuan belati.
"Emang semalam lu nemenin Bunda kemana?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Toko perlengkapan bayi." Balasnya dingin.
Aku menelan ludah, "buat Tiffany?"
"Hmm." Balasnya malas.
"Bang?" Panggilku ketika lampu berubah hijau. Mobil kembali berjalan.
"Hmm."
"Ingat nggak sama Lankey?" Tanyaku ragu.
"Gimana bisa lupa? Dia orang yang buat lo terjerumus, kan?" Balasnya tajam.
Astaga.
"Dia nggak salah bang. Itu murni kesalahan gue." Tenanglah gadisku. Aku akan membelamu. "Abang nggak benci kan sama Lankey?"
Hening.
Keheningan berlanjut sampai kami tiba di rumah.
Ini pertanda buruk. Abangku mungkin membenci Lankey.
Tuhan, maafkan aku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Moon & Back
Spiritual[S E D A N G R E V I S I] Rezka telah membuat sebuah kesalahan fatal. Kesalahan tersebut membuat ia dan Lankey -gadis pujaannya sejak Sekolah Menengah tingkat akhir tidak bisa bersama. Naufal Wiratama Armandani, seorang pelajar di sekolah penerbang...