Chapter 20

4.7K 59 2
                                    


Ting.
Lift terbuka menunjukkan lantai 8. Gue langsung cari kamar 828. Dan ... Ketemu .
Tanpa basa basi gue langsung memegang ganggang pintu itu dan ternyata tak dikunci .

Ceklek,

Ternyata...
"Rendyy ?!" .....

_________

"Rendyy ?!" ucap gue pelan tapi dengan wajah kaget sambil menutup mulut gue dengan kedua tangan gue. Gue lihat dia lagi sama cewe diatas ranjang dan posisinya bukan posisi biasa .

Saat gue buka pintu, Rendy lagi mencium dan mencumbu seorang gadis yang asing buat gue . Rasanya sakit tapi entah dimana .

"Yui ?! Lo ... Lo kok bisa disini ?!" tanya nya wajah kaget seperti maling ketangkap basah saat mencuri .

.........

"Yui, gue bisa jelasin semuanya sama lo ." lanjutnya melihat gue gak ngejawab pertanyaan dia dan dia mulai beranjak dari posisinya tapi wanita itu menahan tangannya.

Gue masi mematung didepan pintu dan saat itu tanpa gue sadar gue sudah meneteskan air mata .

"Lo ... Udah ... Merusak kepercayaan yang gue kasih ke lo Ren. Maaf ganggu ." ucap gue berusaha tenang lalu pergi gitu aja dengan berlinang air mata .

Gue berjalan ke arah pintu utama tanpa mengabaikan pandangan karyawan gue yang sedang bekerja .

"Pak, ke Villa ." ucap gue sudah berada dalam mobil sambil menahan air mata .

Selama perjalan gue hanya melihat kearah jendala. Dengan sangat tersiksa gue menahan air mata. Gue gak nyangka kalau Rendy ternyata cuma main main dengan ucapannya. Atau gue yang terlalu bodoh percaya apa katanya. Tapi saat itu Rendy tidak sedang berbohong. Gue tau itu dari matanya. Tapi kenapa dia tega ngelakuin ini ke gue. Lo udah janji ke gue dan lo gak nepatin janji lo tambah lagi lo berbohong. Apa lo tau gue benci dibohongi ?

Sakit.

Sakit Ren.

Dan terimakasih Ren, karna lo, mulai sekarang gue gak akan pernah percaya kata kata manis dari seorang laki laki lagi .

Tak berapa lama gue pun sudah sampai di Villa . Hari sudah tengah malam. Pasti semua sedang tertidur. Gue masuk ke kamar gue, udah mau mengganti hand bag lalu pergi lagi .

Gue menlihat handphone gue sudah banyak berdering tapi gue abaikan. Secara tak sengaja gue ingat janji gue. Gue gak mau kaya dia yang udah ingkat janji. Gue harus nepati janji yang udah gue buat ke seseorang .

"Hallo ."

"Ohh Hai Nia, ada apa malam malam menelfon ." suara dari sebrang menyaut .

"Ahh maaf, tengah malam begini gue nelfon lo. Lo udah tidur ya? Maaf ya ."

"Ahh tidak, gue baru siap selesaikan tugas gue . Ada yang bisa gue bantu ?"

"Benarkah? Ntar gue ngerepotin lo kan gue gak enak ."

"Gak kok, datang aja ke cafe gue. Gue tunggu ."

Lalu gue langsung mengambil kunci mobil gue di nakas tempat tidur. Gue tadi blg supir kalo gue perlu mobil nanti jadi gue ambil kuncinya .

Gue gak akan pernah mau ketemu sama lo lagi Ren. Batin gue.

Gue gak ada niat balas dendam atau semacamnya. Bukan tipe gue. Dan untuk apa gue menangisi dia yang teka lebih dari seorang pembohong.

Tapi gue merasakan sakit yang luar biasa didalam sini. Gue suka Rendy. Gue berencana menjawab penyataan cinta Rendy dengan kata *gue juga suka sama lo* tapi karna kejadian itu, tak ada sedikitpun niat gue untuk mambalas bahkan melihat wajah Rendy lagi.

When My Husband Is My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang