Part 12

10.8K 1.1K 91
                                    

Aku duduk di pinggiran lapangan sendirian. Di kanan-kiriku ada lima murid perempuan lainnya, karena murid kelas kami yang sedikit untuk olahraga kami mengalami kesulitan dalam pembagian team untuk bola voli.

Setiap angkatan di sekolahku total jumlah muridnya rata-rata kurang dari 270 karena targetnya setiap kelas tidak lebih dari 30 murid. Untuk angakatanku sendiri muridnya ada 261 orang. Saat kami kelas 10 setiap murid ditempatkan dalam kelas dengan syarat; duluan daftar; pintar; tajir. Kalau kalian duluan daftar, pintar dan tajir akan dimasukan dalam kelas 10-1 sampai 10-5.

Aku dan Gibran ditempatkan dalam kelas yang bontot karena telat mendaftar. Aku baru pindah ke Jakarta, sementara Gibran malas satu sekolah sama Lalisa.

Di kelasku 10-9 muridnya cukup banyak, 27 murid. Entah mengapa saat kenaikan kelas, hanya aku dan Okto yang masuk ke kelas IPS 5. Aku baru tahu setelah kenaikan kelas bahwa aku sebodoh itu.

Mengapa tercipta kelas 11 IPS 5 yang jumlah muridnya sedikit? Itu karena saat kenaikan kelas setiap anak berjuang mati-matian, yang pintar dan tajir pasti maunya masuk IPA.

Kalau pun masuk IPS, maunya di IPS 1. Delapan kelas elite yang diperebutkan itu terisi penuh masing-masing 30 murid, jadi di kelasku tinggal sisanya saja. Kami 21 murid dengan nilai terendah saat kenaikan kelas.

Makanya masuk ke kelas tersebut sangat terlihat betapa bodohnya dirimu. Murid di kelas kami genap menjadi 22 murid dengan Arya.

Omong-omong soal Arya, tadi pagi aku membangunkan dirinya dengan menelepon –tepatnya misscall sampai kupingku panas mendengar nada tut panjang. Dia akan ngirim pesan kalau sudah bangun, aku bolak-balik buka aplikasi dan menelepon dirinya.

Setelah mencoba menghubungi Arya sampai 70 kali, dan ingin menyerah pergi sekolah sendiri saja telepon terakhirku diangkat. Suara Arya serak-serak basah dan agak mendesah seksi.

Sial!! Katanya nggak bakal diangkat, kena pulsa.

Pulsaku hilang gopek. Lumayan itu buat sms bisa tiga kali ngirim.

Arya tiba di rumahku pukul 5.45 dengan wajah kuyu dan menguap mulu, sebelum jalan aku menaboki punggungnya agar dia terkejut dan melek. Dia sempat terlonjak kaget dan menolehkan kepala ke belakang. Sepasang mata tajam dari balik kaca helm itu menatapku tajam, aku nyengir kikuk dan dia terkekeh pelan. Dasar cowok ambigu.

Kami tiba di sekolah tepat waktu, anehnya hari ini Arya tidak banyak berbicara. Selepas dari kata mengantuk biasanya jika  sudah sampai di kelas dia bakal ngoceh sama Wira sampe berbusa. Wira hanya manggut-manggut mendengarkan curhatan Arya tentang kejadian selama dalam perjalanan ke sekolah. Aku sering memperhatikan mereka, bahkan anak kelasku yang lain juga. Jadi jangan mengira aku diam-diam suka lihatin Arya!

Kini aku memandangi Arya dari tepi lapangan, cowok itu menggiring bola lalu mengoper ke Kemal –cowok terkurus di kelasku tetapi tinggi, putih dan mirip mayat hidup. Dia pendiam tidak banyak bicara, aku bisa mengelompokkan dirinya ke dalam geng yang suka main poker.

Karena kelompok yang suka main kuda reot itu adalah Okto, Jerry, Malik, Mumud, Tio, Rando, dan Altaf. Aku menamakannya geng kuda reot. Sementara geng poker berisi Kemal, Indra, Dhika, Nicky, Pandu dan Akbar. Wajah mereka sering putih penuh bedak.

Cowok lainnya seperti Arya, Wira dan Brian  suka asyik sendiri. Tepatnya sih Brian yang asyik sendiri membaca buku thriller horor pembunuhannya itu, kadang aku penasaran ingin meminjam novelnya.

Astaga, ucapan Akbar kembali membuat perasaanku tidak enak.

Aku bertemu pandang dengan Akbar, dia segera memalingkan wajah fokus menggiring bola lagi. Tanpa disadari baru saja aku menghela napas berat.

SashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang