Part 38

8.7K 906 58
                                    

Sarapan pagiku kali ini menegang. Bagaimana tidak, begitu aku turun ke bawah menuju meja makan, di sana sudah ada mama dan papa. Mama berpakaian santai, pertanda di Minggu yang secerah ini tidak ada jadwal mengisi di pernikahan orang, yang membuatku terkejut, papa juga berpakaian santai. Kaus berkerah putih polos dan tidak ada tas di sekitarnya.

"Pagi, Ma, Pa," sapaku lalu duduk di ujung sejauh-jauhnya dari posisi mereka. Papa mengangkat pandangan dari koran dan menatapku tajam.

Mama yang sedang asyik mengoles roti dengan nutella ikutan menoleh ke arahku. "Pagi, sayang." Mama tersenyum bahagia, ternyata kehadiran papa mempengaruhi mood beliau. 

Beberapa waktu lalu beliau murung karena kesepian merasa diabaikan oleh papa. Liburnya papa pagi ini membuat mama tampak semangat.

"Pagi," papa menyahut dengan suara beratnya. "Kamu bangun jam berapa, jam 8 baru turun?"

Aku terdiam sebentar. "Bangun jam 5. Tapi tidur lagi sampe jam 7." Aku memang kebo, tapi wajar kok. Semalam aku tidak bisa tidur, baru bisa memejamkan mata jam 2 malam. Jam 5 alarmku berbunyi untuk beribadah. Setelah itu tidur lagi dari jam setengah enam sampai jam tujuh.

"Dasar! Mentang-mentang hari libur," sahut beliau. 

Aku tidak tahu dia sedang mengataiku atau menggodaku, habis suaranya sangat tajam dan menusuk. Nada bicara seseorang bisa mengubah persepsi sang penerima loh.

Mama memberikan sehelai roti yang sudah diolesi nutella, aku makan secepat kilat.

"Ehem, kemarin kata Mbak Surti kamu pergi dandan formal loh. Mau ke mana?" tanya Mama.

Aku mendongak kaget, papa masih melihatku. "Aku diajak dinner sama Arya, Ma."

"Arya itu pacar kamu ya? Kok nggak pernah dikenalin secara resmi ke mama dan papa. Gimana sih punya pacar ganteng diumpetin. Papa juga ingin tahu Arya loh!"

"Ng, teman dekat aja kok. Kapan-kapan ya, abisnya jarang ada di rumah," kataku dengan suara pelan di akhir kalimat. Suasana menjadi kikuk, mama melenyapkan senyumannya, menatap diriku dengan sorot terluka.

Papa berdeham. "Ehm, jangan banyak pacaran. Kamu harus banyakin belajar, papa berharap kenaikan kelas nanti masuk ke kelas yang lebih baik. Papa sudah persiapkan masa depan yang bagus untuk kamu. Kamu harus kuliah, mau di mana? Jerman? Singapore? Malaysia? Korea?"

Eh? 

Aku membatu. Tenggorokanku tercekat. Mama tersenyum kecil padaku.

"Di sini aja, Pa. Iya, aku bakal kuliah, tapi di Indonesia aja, please," kataku. Tidak bisa aku bayangkan, Sashi yang biasanya main di kebun tiba-tiba memutuskan kuliah di Jerman? Singapore lumayan dekat. Tawaran papa cukup menarik membuatku tertantang ke luar negeri.

Papa mengira aku tidak akan mau kuliah karena sejak kecil beliau yang tahu bahwa minatku untuk belajar teori itu kadarnya sangat kecil. Pasti beliau mengira setelah lulus nanti aku bakal santai menikmati waktu bebasku. Menjanjikan aku kuliah di luar negeri yang pasti bakal seru banget adalah rencananya.

"Oh, kamu mau kuliah? Bagus deh. Nilai kamu perbaiki agar bisa naik ke kelas unggulan," katanya lagi.

Aku menatap wajah papaku, anaknya baru dua, tetapi sudah keriput dan tampak tua dari yang seharusnya. Beban hidup yang ditanggung papa pasti sangat besar sekali. "Kenapa tiba-tiba ngomongin kuliah di luar negeri?"

Mama mendapat giliran menjawab, "Papa mendapat tawaran buat kuliah S3 di Jerman, sayang. Tapi, papa ingin tahu dulu apa rencana kamu ke depannya. Karena masa depan kamu lebih utama. Kalau kamu mau di sini saja, kami tidak jadi ke Jerman."

SashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang