MOS hari ke-dua sudah separuh berjalan sukses. Jam menunjukkan pukul 12 siang itu pertanda jam istirahat sudah berlaku.
Aku mengipaskan leher dengan handuk putih ikutan capek, ternyata hanya berdiri di pinggir lapangan mengamati anak kelas sepuluh berbaris bisa secapek ini juga. Bagaimana mereka yang dijemur dua jam di lapangan?
Anak-anak itu sudah dibubarkan oleh Ramon -wakil ketua OSIS yang juga anggota paskibra. Lalisa yang bukan anggota paskibra hanya memperhatikan anak-anak itu, biar tidak ada yang ngocol karena beberapa anak kelas sepuluh ada yang sulit diatur dan mereka baru takut jika Lalisa turun.
Lalisa datang duduk di kursi semen sebelahku sambil menyodorkan botol air mineral, di sebelahku Dara, Alva, Gibran dan Denis juga ikutan istirahat.
"Denis, jangan diabisin. Satu botol buat rame-rame. Gibran sama Denis jangan nyosor botol kita," ucap Lalisa saat dilihatnya Denis minum tidak menarik napas sama sekali dan Gibran tampak aus berat melirik botol yang lagi dibuka sama Dara.
Alva tertawa pelan. "Lagian orangnya enam cuma bawa dua."
"Tadi gue liat cuma ada Sashi, lo sama Gibran. Itu berdua tiba-tiba aja dateng," jawab Lalisa membela diri.
"Mana gentong air yang dateng!" ucap Gibran kesal lalu menyerobot botol yang dipegang Denis. Denis menabok kaki Gibran karena dikatain gentong air.
"Nih, Sas!" Dara menyodorkan botol padaku. Sama seperti Denis aku langsung minum tanpa menarik napas.
"Sashi gentong dua!" cibir Denis membuat aku nyaris menyemburkan air, untung dengan susah payah aku bisa menelannya.
Denis tidak sekurus Alva, gedenya sama kayak Gibran berisi cuma dia kalo makan dan minum banyak sekali, benar kata Gibran kalau Denis itu kayak gentong air.
"Aus, mana panas banget lagi!" balasku.
Giliran Lalisa yang minum air botol milik team cewek, Alva juga kebagian yang terakhir. Seperti anak baik pada umumnya Alva menyisakan beberapa senti air botol itu.
"Ada yang mau lagi?" tawarnya pada Denis, Gibran dan aku. Aku menggeleng kuat-kuat.
"Gue sini!" Denis si gentong air menyerobot lagi.
"Lo harus terbiasa panasnya Jakarta, Sas, udah setahunan lo di sini kan?"
Aku mengalihkan tatapan ke Lalisa yang menjawab gerutuanku mengenai panas. Belum sempat aku menjawab suara Dara terdengar.
"Di hutan nggak panas ya Sas?" celetukannya membuat yang lain tertawa.
Aku sudah biasa katain dari hutan karena pengalamanku bersekolah di Permata Hijau bukan rahasia lagi. Jadi sekolahku itu dibangun di tepi hutan yang masih asri, kalau kami sedang menerima materi pembelajaran dilakukan di kelas, sesekali kami belajar di alam menikmati segarnya suasana, prakteknya aku suka keluyuran di hutan, danau dan jika sedang ada study tour kami main ke sawah milik warga.
"Nggak. Adem sejuk. Lo harus ke sana!" usulku pada Dara.
"Nggak-nggak," ucap Dara cepat menolak. "Di sekolah lo ada sinyal?"
"Sinyal di hutannya 2G dapat. Kalo 3G di asrama, bahkan udah ada wifi. Jadi gue chat sama Lalisa lancar sentosa." Pamerku sambil tersenyum riang.
"Buset 2G download kayak siput. Kasihan asupan gizi gue nanti buat nonton anime nggak terpenuhi," ucap Denis yang tidak bisa jauh dari komik dan anime.
"Masa kayak gitu gizi?" Lalisa menatap Denis heran. Beda orang beda selera, aku yakin menurut Lalisa kegiatan yang dilakukan Denis itu useless dan buang-buang waktu doang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sashi
Teen Fiction📌 Listed to @WattpadRomanceID Reading List Kategori Kisah Klasik di Sekolah edisi Januari 2022 ** Di tahun keduanya Sashi bersekolah, entah mengapa rasanya dia ketiban sial saat namanya berada di daftar murid kelas 11 IPS 5. Kelas paling bontot da...