Part 1

63.3K 2.1K 252
                                    

Nongkrong di kafe sama sekali bukan gaya hidupku, tapi dikit demi sedikit aku harus santai menikmati hidup yang kujalani di Jakarta. Hidupku sekarang berubah drastis karena ternyata lingkungan sangat berpengaruh terhadap gaya hidup. Contoh nyatanya adalah dua orang manusia di depanku ini.

Aku menyesap manisnya Caramel Latte yang aku pesan sambil sesekali melirik sepasang muda-mudi di depanku. Yang cewek berwajah cantik, pipi tirus, rahang tegas dan kacamata cokelat membingkai matanya yang bulat sempurna. Rambutnya panjang, lurus dan teratur. Namanya Lalisa. Dia masih asyik membaca buku Encyclopedia of Electrical and Electronics Engineering: Magnetic Resonance Imaging.

Ya Tuhan! Aku sudah pusing duluan membaca judulnya. Catatan Lalisa itu cantik banget, dengan penampilan mirip kutu buku cantik dan bacaannya buku berjudul ribet para cowok langsung merasa minder menjauh tanpa diminta.

Sementara cowok bertubuh bongsor yang satunya cekikikan depan layar ponsel. Saat aku kepergok sedang menatap dirinya, dia menoleh menunjukkan layar yang menampilkan permainan scrabble.

Lusa sudah masuk tahun ajaran baru, aku naik ke kelas 11 dan masuk IPS 5. Sesuatu yang tidak bisa aku bayangkan, dulu aku pernah bersumpah tidak mau masuk ke kelas itu karena isinya anak-anak berisik yang hobinya mengacau. Sekarang anak-anak itu dikirim ke kelas 12 IPS 5. Aku adalah generasi penerus IPS 5, yeah luar biasa!!

Aku masih ingat pertama kali ketemuan di kafe ini dengan Lalisa dan Gibran -iya cowok ini adalah Gibran, saudara kembar fraternal Lalisa.

💙💙💙

"Akhirnya Sashi keluar dari hutan," ucap Lalisa saat aku baru meletakkan bokong di sofa kafe.

Aku menunggu kalimat penerimaan yang layak aku dengar sebagai kata penyambutan karena akhirnya aku tiba di Jakarta dengan selamat dan berhasil bertemu dengan sahabat lamaku. Harapan tinggal harapan yang aku dengar malah kalimat seperti itu.

Helo, dulu dia juga menghabiskan waktu sekolah dasarnya selama 6 tahun di sekolah alam bersamaku.

Saat aku masih sekolah di Yayasan Sekolah Alam Permata Hijau Sukabumi beberapa kali Lalisa dan Gibran menemuiku di suatu tempat yang kami janjikan, jadi bukan pertama kalinya aku bertemu dengan duo kembar abrsurd ini. Aku dan Gibran juga sudah cukup akrab untuk bisa disebut sebagai kenalan.

Setelah meletakkan bokong, Gibran menatapku yang duduk sandaran di sofa kafe sambil mengangkat kaki.

"Kaki, Mbak, astaga! Di hutan nggak ada sofa sih ya?" Gibran cekikikan.

Andai aku sebesar dirinya sudah kulempar ke luar dari kafe.

"Kalian 4D banget. Gini deh kelakuan anak kota, ada tamu bukannya disambut malah dianggurin!" cetusku sambil menunjuk buku tebal di tangan Lalisa dan ponsel di Gibran. "Taro dulu kek ajak gue ngobrol."

"Bentar elah, gue lagi asyik, tiga halaman lagi ya. Papa beliin gue buku seru banyak banget. Lo kalo tertarik boleh pinjem tapi ada syaratnya, syaratnya ada di cover belakang buku. Udah gue tempel." Gaya Lalisa, dia sangat bersih dan telaten. Dia bakalan teriak kalau kalian mengusik hidupnya.

"Udah yok ngobrol. Mau ngobrol apa? Gue lagi asyik main game, tau Criminal Case nggak? Tadi gue lagi ngungkap kasus pembunuhan. Untung udah ketebak level gue naik, lo bisa main game nggak?" tanya Gibran seolah aku makhluk asing yang tidak kenal dengan namanya game.

Aku dan Lalisa berumur sama, bahkan bulan kelahiranku lebih dulu, itu artinya aku sama Gibran juga masih tuaan aku, tetapi kelakuan mereka sudah seperti dewasa awal.

"Sekolah. Gue masuk kelas 10-9. Lo?"

Mama mendaftarkan diriku ke sekolah yang aku pinta, aku minta sekolah di SMA Esa Unggul. Sekolahnya Lalisa dan Gibran, biar seru aja sama mereka. Abis mereka asyik sih.

SashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang