Part 18

8.7K 1K 58
                                    

15 menit perjalanan dengan menggunakan motor aku tiba di depan rumah makan Batagor Ujang yang terkenal enak dan laku keras.

Aku melirik mobil merah yang terparkir di depannya. Om Gio sudah di dalam? Bagaimana bisa dia sampai lebih cepat daripada aku? Aku memasuki rumah makan tersebut menyapu seantero dalamnya.

Seorang pria berwajah tampan –meski usianya sudah kepala 4 melambaikan tangan dari salah satu meja.

Aku melempar senyuman tipis, tanda aku akan segera ke sana. Baru beberapa langkah aku mendapat tatapan sinis dari sekumpulan anak cewek yang duduk di salah satu meja.

Mereka melirikku dan meja Om Gio bergantian. Dari seragamnya, mereka berasal dari murid sekolah tetangga, SMA Mardi Bakti.

"Eh mainnya sama om, lumayan om-nya ganteng sih," celetuk salah satu di antara mereka.

"Wah, di SMA Esa Unggul ada yang levelnya pacaran sama pria beristri. Jangan-jangan duda kali ya? Gue mau sama Om kayak gitu! Seksi!"

"Gosip baru nih. Mantap!"

"Kasihan anak dan istri si om itu," kata cewek yang berhijab.

"Pasti udah diapa-apain deh! Ih, bekasan!"

Aku menundukkan kepala mengabaikan celotehan usil mereka, karena aku tidak seperti itu. Dasar anak remaja sekarang menyebalkan! Menilai hanya dari satu sisi.

Emang kalau aku ketemu sama pria dewasa sudah pasti ada apa-apanya? Ini lagi kebetulan aja pria itu bukan papaku.

Eh, tapi om Gio saja yang kelihatannya masih ganteng dan hot. Seksi gitu deh. Makanya cewek-cewek ini usil. Coba aja yang aku temui misalnya, pria berwajah keriput dengan rambut penuh uban. Who cares?

Om Gio melempar senyuman termanisnya –dan mematikan. Jantungku terasa dipompa berkali-kali lipat cepatnya. Aku bingung, terkadang pria itu tersenyum manis seperti orang baik dan lembut. Tetapi, dari caranya mendidik Arya sangat keras sekali.

Mereka memang keluarga penuh misteri.

"Sashi, maaf saya mengganggu. Silahkan duduk," ucapnya.

"Iya, Om." Aku duduk di kursi kayu ini seperti duduk di ranjau paku. Aku belingsatan gelisah tidak berani menatap wajah ayahnya Arya. Takut.

"Mau pesan apa? Heran ya saya bisa sampai duluan?" Gila. Dia tersenyum lebar memamerkan giginya.

Om, jangan baik sama aku dong kalo nanti ujungnya mau ngomelin aku dan meminta aku untuk—

"Es teh manis. Iya. Saya agak heran sih, gimana bisa, Om?" tanyaku penasaran. Aduh, jangan bilang aku masuk dalam jebakan permainannya.

Aku ini mudah dipancing karena kepo akut. Orang lain mungkin akan menjawab santai 'wah, Om naik pesawat ya makanya cepat'. Itu sama sekali bukan aku. Tidak jago menggoda.

"Es teh manis?" Dia terkekeh geli. "Oke. Tadi saya sudah di dekat sini. Makanya bisa lebih cepat. Ehm," katanya lalu memanggil pelayan untuk membuatkan kami minum.

Om Gio tidak seperti bapak-bapak pada umumnya, beliau memesan segelas cokelat panas. Saat pelayan menawarkan menu batagor, Om Gio berkata akan memesan makanan nanti saja.

Aku menggigit bibir, masih belum terbiasa harus berhadapan dengan pria yang pernah berkata jangan mempersulit kehidupan anaknya di sekolah baru. Aku menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Rileks. Santai. Tenang.

Satu ... dua ... tiga...

"Saya yang salah, Om. Saya yang meminta Arya untuk membantu Akbar—teman sekelas kami yang sedang diserang sekelompok anak sekolah lain. Kesalahan saya memang fatal sampai Arya diskors sekolah." Aku takut-takut menatap wajahnya. Beliau memandangi diriku tepat di manik mata dengan sorot dalam. "Jadi, maafkan Arya! Saya yang harusnya bertanggungjawab."

SashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang