Last Night In Alaska

23 2 0
                                    

Mengurung diri seharian di dalam ruangan tertutup ditemani berbagai macam warna pylox dan dinding yang kosong adalah cara lama Zayn Malik menghabiskan waktu, membuang jauh semua isi pikirannya.

Tapi setelah berminggu-minggu disini (karena dia memutuskan tidak lagi kembali ke Leeds), dinding itu tidak lagi kosong, melainkan penuh dengan coretan gravity dan gambar-gambar yang hanya Zayn sendiri mengerti.

Sore hari musim dingin di negeri bersalju tidak pernah semenyedihkan ini. Dia hanya punya waktu kurang dari 12 jam sebelum akhirnya pergi ke Pennsylvania untuk latihan sebelum konser tour Amerika pertamanya di negara bagian tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana bisa dia menghibur puluhan ribu orang disana sementara dirinya sendiri masih butuh penghiburan?

Duka dan penyesalan bukan kombinasi yang menyenangkan. Alaska menjadi pelariannya yang baik selama berminggu-minggu sebelum dia menonton rekaman di E!News malam itu tanpa membangunkan Diana yang sudah tidur. Zayn tidak pernah dibutakan oleh dendam sebelumnya. Jika dia benci, dia akan melampiaskannya saat itu juga, bukan diam-diam menusuk orang itu dari belakang, terlebih lagi jika orang yang dimaksud adalah Niall.

Dirinya tidak pernah membayangkan akan menjadi pria seperti sekarang ini; pendendam dan penuh kebencian akibat kehilangan. Egonya saat ini lebih besar melebihi apapun. Bahkan nyaris membuat hubungannya berakhir saat pertama Diana mengetahui apa yang Zayn lakukan terhadap Niall. Tapi wanita itu cukup bijak memutuskan kalau, pada akhirnya, itu adalah urusan mereka berdua. Diana tidak pernah menyebut nama Niall lagi atau teman-teman lainnya sejak saat itu.

Zayn dan Diana, mereka berdua seakan menjadi orang baru yang hidup di negeri dongeng bersalju. Ada malam-malam tertentu dimana keduanya melupakan semua masalah dan berjalan-jalan santai dibawah keindahan cahaya Aurora. Tidak terikat oleh beban yang menunggu mereka saat matahari pagi muncul pada akhirnya.

Namun sekarang, dia mengingatkan dalam benaknya lagi, kalau sisa waktunya disini tidak lebih dari 12 jam. Zayn akan meninggalkan Alaska, meninggalkan Diana, meninggalkan sedikit kebahagiannya yang tersisa disini.

"Zayn?"

Diana mengetuk pintu ruangan kosong itu.

"Come in" jawab Zayn masih menyemprot warna pada dinding, lalu membuka penutup mulutnya, menyambut Diana dengan senyum merekah. "Hey! You're home early---what's wrong, Di?"

"Why didn't you tell me?"

Zayn mendekat melihat mata Diana yang memerah sedikit membengkak dan basah air mata. Dia membawa kotak bingkisan berwarna coklat ditangannya.

"Apa itu?"

Diana tak menjawab.

"What's wrong, babe?"

"Kau" katanya parau. "Aku sudah melihat rekaman itu, video Niall, dia sudah cukup menderita. Bagaimana bisa kau tahan melihatnya seperti itu? Oh biar kutebak, kau belum melihatnya?"

"Siapa yang memberitahumu?"

"Teman kantor, tukang pos, cacing besar Alaska, tidak masalah siapa yang memberitahuku. Intinya apa kau sudah melihatnya atau belum?"

Zayn mengamati pylox ditangannya sebelum akhirnya menjawab, "Sudah"

"Dan?"

"Dan apa?"

Mata Diana melebar sedangkan mulutnya terbuka mencari kata-kata yang tepat namun dia berakhir hanya menatap Zayn tak percaya.

"Dia temanmu-"

"Kita sudah membahas ini sebelumnya" Zayn memotong kalimatnya dengan tegas.

"He is your best friend"

TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang