"Kematian hanyalah sekedar menyeberangi dunia, seperti teman yang menyeberangi lautan; mereka masih hidup dalam diri masing-masing. Karena mereka perlu ada, cinta dan hidup dalam apa yang tidak terikat ruang dan waktu. Di dalam kaca ilahi ini mereka saling berhadapan dan bebas berbicara, karena mereka roh murni. Inilah penghiburan para sahabat, bahwa kendatipun mereka dinyatakan mati, namun persahabatan dan pertemanan mereka, dalam arti yang paling baik, masih selalu ada, karena abadi"
-William Penn, More Fruits of Solitude--Lebih Banyak Buah Keheningan.
***
Mimpi buruk. Hal pertama yang terlintas dibenak Niall tepat sebelum dia membuka matanya. Dia melirik ke sekeliling ruangan, tidak butuh waktu lama bagi otaknya untuk mencerna dimana sekarang dia berada, rumah sakit.
Jadi, itu semua bukan mimpi. Panik mendera sekujur tubuhnya seketika. Potongan memori kejadian malam itu terulang kembali secara acak, bagai puzzle mengerikan yang harus dia susun.
Lia, pikirnya.
"I killed her" gumam Niall putus asa mengetahui fakta ini, atau lebih tepatnya, teori ini.
Dia mengabaikan suara beep dimonitor yang semakin liar sambil berusaha melepas selang infus ditangannya, namun usahanya digagalkan oleh kedatangan orang. Maura dan Denise.
"When did you get here?" tanya Niall terkejut.
"Few hours ago. Diana, you know Zayn's fiancé, told me about what happened to you and-" Maura tak sanggup menyelesaikan sepenggal kata sederhana itu, dia sembunyi-sembunyi menyeka air matanya, tidak tega dengan musibah yang menimpa anaknya.
Bagaimanapun, Niall mengerti. Butuh beberapa detik baginya sebelum berani bertanya, "where's she now?"
"In her parent's" jawab Denise mengerti. "There's some tradition before her-"
Lagi-lagi kalimat itu menggantung begitu saja, Denise dan Maura diam-diam saling bertukar pandang. Apakah mereka tahu kalau Niall sudah mengetahui kebenarannya?
"She's death" Niall bergumam. Walaupun itu bukan pertanyaan namun keduanya mengangguk ragu.
"I killed her" lanjutnya.
"Oh sweetheart..."
"No, you're not"
Mengabaikan Maura dan Denise. Niall mengigit bibirnya, tubuhnya gemetar bukan main, kenyaatan itu merupakan tonjokan keras untuknya. Pukulan yang membuatnya jatuh tenggelam, tidak bisa bernapas, seperti ada yang menahannya agar tetap berada didasar, sesuatu yang menekan, seperti beban berat tak terlihat di dadanya. Sulit untuk bebas dari beban itu.
"I KILLED HER, MUM" jeritnya seketika. Niall bahkan tidak mengenali suaranya yang terdengar mengerikan, parau dan tercekat. Dia belum pernah menjerit seperti itu. Tangannya mencengkram selimut kuat-kuat, Niall mengentakkan tubuhnya seperti orang gila.
"I'VE KILLED LIA MALIK"
"I HAVE KILLED MY FIANCÉ!"
Berikutnya yang ia ketahui sebelum dia tiba-tiba merasakan lelah berlebihan dan segalanya menjadi gelap adalah seseorang menusukan benda tajam di lengannya.
***
Tidak ada yang tidur sampai hari berikutnya. Rumah keluarga Malik di Bradford tiba-tiba saja menjadi sorotan. Seluruh keluarga, kerabat dan tetangga tak henti-hentinya datang, menyampaikan rasa bela sungkawa dan turut berduka cita. Rumah itu bahkan terlalu sempit untuk menampung semuanya. Semua yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana bisa gadis itu mendadak meninggal dunia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Two
Random1. Her favorite place was Orlando 2. Alaska was where she wished to stay 3. She wanted dark gray hair 4. She said she was born to be an extraordinary person and I'm the one who would find her 5. Tea was her favorite drink It is all just a coincidenc...