Epilog

6.5K 330 9
                                    

Dua orang yang pada kenyataannya saling mencintai itu saling bertatapan, dua bola mata berpapasan dan berakhir saling beradu. Rasa rindu menggebu di dalam hati mereka dan sejuta kalimat yang ingin bibir mereka lontarkan. Namun waktu belum memihak. Bibir itu memilih bungkam.

Sabar, Emil ... nanti juga bisa bicara kok ...

Tahan diri, Van ... ada waktunya. Tapi nanti ..

Mereka menguatkan diri sendiri untuk menunggu dua jam lagi. Hanya dua jam dan mereka akan bercumbu dengan kata-kata rindu. Sekalipun begitu, tanpa perlu mengeluarkan banyak kalimat untuk menjelaskannya, sinar cinta mereka telah terpancar dengan jelas. Terlihat dari Gerald dan Getha saling mengedipkan mata dan beberapa mahasiswa yang juga mengawasi lenggak lenggok pria dewasa yang menjelaskan bagaimana itu seorang public speaker harus melakukan riset di depan kelas mereka.

Revan dan Emil, keduanya melukiskan senyum seiring dengan wajah merana. Emil lupa sejak kapan ia menjadi mellow begini hingga mengeluarkan air matanya saat ini. Kedua mata mereka masih bertemu, berbicara dari hati ke hati, menguraikan defenisi rindu yang sebenarnya.

"Makin lama kok makin manja gini sih?" ucap Revan seraya mengusap puncak kepala Emil. Demi apapun, buat apa Emil semakin merebakkan ari mata tak tahu dirinya itu. Gadis itu merasakan kembali sentuhan Revan seakan mendapat hujan di musim kemarau. Rindunya semakin menguak. Tidak tahan dengan siksaan itu maka ia menghambur ke pelukan Revan.

"Aku merindukanmu!" ia tertunduk diiringi isakan tangis yang semakin kencang. Revan mencoba mengingat-ingat berapa lama ia pergi sampai reaksi gadisnya seperti ini. Ia terkekeh. Bahkan satu bulan saja belum.

Revan memang harus melakukan beberapa seminar ke beberapa kampus di luar kota. Meskipun Revan masih ingin menikmati masa-masa pacarannya dengan Emil namun kewajiban dan pekerjaan tetaplah menjadi tanggung jawabnya. Lagi pula itu juga demi masa depan mereka.

Omong-ngomong soal masa depan, Revan baru ingat kalau ia harus melakukan sesuatu. Selagi Emil masih dalam mood manja-manjanya, inilah waktu yang tepat.

Dengan gerakan pelan, Revan merangkul Emil lalu membawa gadis itu duduk di mejanya. Oh ya, Revan juga sudah menjadi dosen tetap di kampus itu dan sekarang mereka sedang pacaran di ruangan Revan. Ingatkan pada rektor untuk membuat aturan baru ke depannya untuk melarang mahasiswa dan dosen melakukan affair .. itu bisa menjadi pengaruh buruk buat mahasiswa lain.

Dua anak manusia itu berbagi cerita lewat pandangan mata yang beradu. Revan membisikkan semua kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya. Masih kata dan pengakuan yang sama—tentang seberapa besar pria itu mencintainya, membutuhkannya untuk hidup bersamanya. Ia mengangkat dagu Emil dan menciumnya.

"Dan aku sangat menyukai sifat manjamu ini," ucapnya di sela-sela ciumannya. "menikahlah denganku."

Semua pertahanan gadis itu meleleh. Ia mengangkat dagu dan melebarkan mata. "aku bahkan belum menyelesaikan kuliahku," ia mengeluh. Mereka masih muda, buat apa buru-buru menikah.

"Kau bisa tetap kuliah setelah kita menikah."

"Dan jika aku tidak mau menikah denganmu?" tantang Emil. Lagian mengajak menikah kok segampang itu? Mana lamaran romantis yang biasa orang-orang sebut candlelight dinner? Mana kata-kata manis dan adegan berlutut? Ia tidak pernah memimpikan dilamar di ruang dosen dan sembunyi-sembunyi seperti ini.

"Tidak ada pilihan, Manis. Kau harus menikah denganku."

"Dan jika aku mau menikah denganmu, selanjutnya apa?" Emil masih kekeuh, tidak terima hari dimana ia dilamar sesederhana ini.

"Jika kau mau menikah denganku, kau akan membuatku menjadi pria paling bahagia di dunia."

Dan jawaban Revan berkali-kali lipat lebih manis dari kata lamaran apapun yang diimpikannya. Lebih romantis dari lamaran Glen kepada Chelsea di tengah laut. Ia bisa melayang sekarang, merasakan kupu-kupu di dalam perutnya mengepakkan sayap.

Revan duduk di kursinya dan menarik Emil ke pangkuannya. "Apa aku harus berlutut?"

Emil tersenyum. "Sudah terlambat. Kenapa tidak dari tadi?" gadis itu berkata jengkel, "ini adalah lamaran terburuk yang tidak pernah kubayangkan."

"Jadi, kau mau menikah denganku?" Revan belum lupa kalau gadis itu belum memberikan jawaban atas lamarannya.

Emil mengerut keningnya, lalu ia tersenyum lebar. "Ya, aku mau menikah denganmu."

Akhirnya ... titik akhir dari perjalannya telah sampai—sang cinta sejati. Revan tak ingin menahannya lagi. Diciumnya Emil dengan bergairah dan rasanya tak ingin berhenti. Dejavu pada malam berhujan di bulan desember memberikan keinginan lebih untuk membawa wanita itu pada pusaran cinta yang sebenarnya. Namun ia harus menunggu, maka ia menarik diri meninggalkan bibir Emil di bawah bibirnya.

Ia mengamati wajah merona itu. Gadis kekanakan yang dulu ia curi ciumannya. Ia terkekeh sekaligus berterimakasih pada waktu yang menepati janjinya—mempersatukan cinta yang tulus.

"Kurasa kau pasti menginginkan sebuah cincin," katanya menyeringai. Gadis itu mengerjap menyadari ada benda baru di jari manisnya. Kapan benda itu ada di sana? Ia mengangkat tangannya ke depan wajah, terkagum pada kilau berlian kecil di tengah mas putih yang kini melingkar di jarinya.

"Kau suka?"

"Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu." Pertanyaan itu ia balas dengan pernyataan cinta. Emil menyandarkan kepalanya di leher Revan. Kata cinta ia bisikkan berulang seraya mengamati hiasan baru di jemarinya.

Pada akhirnya, sejauh apapun kita berlari dari orang yang kita cintai, hati kita akan tetap berlari padanya. Cinta tidak pernah salah dengan jatuh pada orang yang tidak kita inginkan dan cinta juga tidak salah ketika ia tak berbalas. Ia hanya satu kata yang memiliki rahasia. Rahasia yang menawarkan luka namun menjanjikan obat penawar. Karna pada kenyataannya, sesakit apapun cinta merenggut hatimu, ia tetaplah memberikan keindahan.

_

Kedua pengantin itu sangat bahagia. Pernikahan mereka adalah lambang sejati kegembiraan. Detail peristiwa kebahagiaan bersatunya dua anak manusia dalam ikatan janji suci. Pengantin wanita dengan gaun putihnya terlihat begitu cantik—bidadari-bidadari bumi yang telah mendapatkan rumah untuk hatinya. Senyum itu begitu tulus hingga seseorang yang ada di sana tak rela pemandangan itu dinikmati oleh orang-orang selain dirinya.

"Kau terlihat cantik," bisik Revan. Emil hendak membalas ketika satu suara dengan nyaring menyerukan namanya.

"Waktunya lempar bunga!" seru Getha dari kerumunan teman-temannya. Mereka-mereka yang ingin menikah secepatnya setelah toga dan selembar ijasah itu sudah didapat. Itu sih buat yang sudah ada calonnya...

Emil menarik Revan untuk membelakangi. Pria itu sedikit canggung. Jangan lupakan bahwa mereka adalah mahasiswanya.

"Kalian siap?" seru Emil dari tempatnya berdiri. Ia menghitung dari satu sampai tiga hingga bucket bunga berwarna putih itu terlempar jauh ke belakang.

"What?!"

Semua mata tertuju pada sosok yang baru saja berseru kaget. Emil memunculkan seringainya sebelum berseru lantang, melupakan bahwa ia adalah bintang utama untuk hari itu.

"Gerald, tunggu apa lagi? Getha juga udah siap!"

Gerald menatap bunga di tangannya tanpa ekspresi.

^^^

Yeah, akhirnya ...

Gue kepikiran sama prolog dan kenapa ada prolog tapi nggak ada epilog? Lalu jadilah kegajean satu ini. Hahaha (ketawa miris yang terlihat menyeramkan -_-)

By the way, terimakasih buat yang berkenan baca yaaa  dan next pengen banget nulis cerita GG couple. Semoga aja kesampean (huhu)

Thank you all and love you ... see you in new story.

Kiss The Rain (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang