Di teras sebuah rumah sederhana bercat putih, tampak seorang lelaki duduk lesu di kursi dengan kaki kanan menyilang di dengkul kiri. Sikut tangan kanannya bertumpu pada peganggan kursi, sementara lengannya tegak menyangga kepalanya yang miring. Entah kenapa dia duduk dengan gaya seperti itu. Mungkin kepalanya sedang berat akibat banyak pikiran. Atau mungkin tidak kuat menanggung beban jelek di wajahnya, sehingga butuh bantuan tangan untuk menopang. Mungkin!
Tapi sebenarnya jika diperhatikan secara seksama dan dalam tempo yang agak lama, cowok itu tidak jelek-jelek banget, walau sesungguhnya memang tidak terlalu ganteng. Ganteng pas-pasan; pas di dalam kegelapan, pas menghadap ke belakang atau pas dilihat dari jarak minimal 500 meter.
"Adi!"
Seseorang menyebut namanya. Ia menoleh, dan tampak olehnya seorang pria muda sedang berjalan lancar ke arahnya. Kalau tidak salah namanya Jabon, sahabat Adi dari jaman SMA hingga jaman sekarang.
"Sori banget tadi pagi lupa bangunin kamu," kata Jabon sambil menduduki kursi di sebelah Adi.
Adi tersenyum penuh pengertian. "Tumben main ke sini?"
"Buat nyari alasan. Habis dari sini aku mau ke rumah Nivi. Nanti kalau dia nanya aku tinggal bilang; 'tadi dari rumah Adi, mampir bentar buat ngasih ucapan selamat ke kamu'. Kabarnya hari ini dia lulus PNS."
Adi kembali tersenyum, tapi kali ini dengan sangat terpaksa, sekedar menghormati Jabon yang telah memberikan sebuah informasi yang tidak penting. Adi mengubah gaya duduknya menjadi bersandar. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat.
"Kamu kenapa?" tanya Jabon curiga.
"Aku teringat Wanda, Bon."
"Buset! Sampai kapan kamu mau gitu terus, Di?!"
Adi menggeleng lesu. "Gara-gara barusan nonton TV."
"Pasti TV-nya pemberian Wanda?" tuduh Jabon.
Adi diam saja.
"Makanya, biar nggak terus keingetan, barang-barang dari mantan itu lebih baik disumbangkan kepada yang lebih membutuhkan. Aku siap menampungnya."
"Enggak gitu. Tadi acara TV-nya tentang alam Indonesia. Kebetulan lagi bahas hutan-hutan di Kalimantan. Hutannya lebat, Bon. Liar, tapi masih perawan. Paru-paru dunia gitulah sebutannya."
"Bentar, bentar. Hutan lebat bikin kamu ingat Wanda?!" Jabon melongo penasaran.
"Bukan hutan lebatnya! Kata-kata Kalimantan itu yang langsung bikin aku ingat mantan," jelas Adi sendu.
"Jiah!" Jabon buang pandangan ke bak sampah.
Tapi Adi memang terlihat sedang galau berat. Sorot matanya jauh menembus langit tinggi, dengan tatapan penuh mimpi yang tak pasti.
"Sabar deh, Adi. Akhir dari sebuah pacaran emang gitu. Kalau nggak jadi manten, ya jadi mantan. Jarang ada yang pacarannya bisa awet sampai 28 tahun," Jabon coba memberi wejangan.
"Sekarang mendingan kamu cari pacar baru."
Pikiran Adi menerawang. Sejak pisahan dengan Wanda 7 bulan silam, ia memang memilih sendiri. Tak ingin buru-buru mencari pengganti. Adi takut nantinya menjalani hanya dengan setengah hati. Malahan terkadang, Adi berharap suatu saat dia dan Wanda bisa balikan lagi.
"Nggak semudah itu, Bon," kata Adi pelan. Ia tak bisa memungkiri, bahwa Wanda telah menjadi bekas pacar yang paling membekas.
Jabon berdecak geregetan. "Coba buka lebar-lebar hati dan pikiran kamu. Jangan terus berpikir cuma Wanda wanita di dunia ini. Indonesia saja tuh luasnya udah luas banget, Adi! Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau, dan berjuta cewek hidup tentram di atasnya. Jadi kalau kamu masih sering galau nggak jelas cuma gara-gara seorang Wanda, bener-bener nggak ngerti deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen romantis
Teen FictionSebuah cerita cinta yang rada rada. Tidak baik dibaca di tempat umum .