Linn berlari kecil menuruni loteng menuju lantai dasar. Mendekati pintu utama dan membukanya perlahan. Sambil keluar ia kembali menutup pintu dengan perlahan pula.
Dilihatnya Rein sedang duduk di pinggir lantai teras, membungkuk asyik dengan gadget di genggamannya.
"Dor!" sapa Linn.
Tamunya menoleh.
"HUAAAA!!!" Keduanya serentak berteriak. Kaget banget!
Tamunya kaget melihat penampilan Linn yang sangat tidak manusiawi. Sementara Linn kaget karena ternyata tamunya bukan Rein!
Linn spontan berbalik dan dengan gugup berlari berniat kembali masuk rumah. Tapi... BRUGH! Ia lupa kalau pintunya telah tertutup. Alhasil badannya sukses menabrak pintu yang tak berdosa.
"Adududuhh..." rintih Linn mengusap-usap jidatnya yang pusing, rasanya seperti ada bintang-bintang kecil muter-muter di sekitar kepalanya.
"Kenapa lari? Aku kan nggak gigit?"
"Bodo!" pekik Linn males banget melihat wajah tamunya yang tidak lain ternyata Adi.
Jadi tadi ketika Linn makan, Adi diam-diam berangkat ke rumah Linn. Ia merasa tertantang dengan kata-kata Linn yang berbunyi: "Kayaknya udah nggak musim deh, kak, ngungkapin cinta lewat telepon."
Sayangnya ketika Adi mengetuk pintu, Mbak Uci yang membukakan dan berbohong bilang Linn sudah tidur. Adi yang tahu Linn belum tidur, memaksa Uci agar memanggilkan Linn. Dan sebenarnya saat teleponan sesi kedua tadi, Adi sudah berada di beranda rumah Linn.
"Kamu sih, lari nggak liat-liat. Untung aja pintunya nggak apa-apa," ujar Adi sambil memeriksa kondisi pintu rumah.
"Ih dasaaaar... rese! Nyebeliiiin!"
Pipi Adi menembem berusaha menahan tawa. "Iya, iya. Maaf. Sorii. Tadinya aku cuma mau ngasih surprise. Aku dengar di RRI pro 4, katanya cewek itu suka dikasih kejutan."
"Tapi aku nggak terkejut!"
"Iya, enggak kok. Justru aku yang terkejut. Kirain tadi kuntilanak, eh ternyata calon ibunya anak-anak. Mhahaha..."
Linn melototi Adi. Rasanya ingin sekali mencubiti cowok menyebalkan itu pakai catutan kuku.
"Kamu sendiri yang ingin aku ngomong langsung. Karena aku serius cinta kamu, ya aku datang untuk itu...
Sesaat Linn tersenyum, kemudian kembali merengut.
"Tapi bilang dong kalau mau ke sini, biar aku bisa siap-siap. Jangan main tiba-tiba gini!"
Adi memperhatikan penampilan Linn, lalu tersenyum mengerti. "Kalau udah dari dasarnya, bagaimanapun juga kamu tetep cantik kok. Jadi, pede aja ketemu aku walau dengan tampilan seperti musuhnya Raden Kian Santang gini," kata Adi memberi komentar membangun, sambil jari telunjuknya membuat gerakan melingkar di depan wajah Linn.
"Ih kepedean! Siapa yang nggak pede?"
"Yaudah, yaudah. Yang ngerasa cantik ngalah."
Linn melengos. "Tapi kening Linn masih sakit nih, Mbal."
Kedua tangan Adi memegang kedua sisi kepala Linn, kemudian di bagian kening ditiup-tiupnya lembut. "Fhuuh.. Fhuuh.. Udah ya, nanti pasti sembuh sendiri."
Linn tersenyum diperlakukan seperti anak kecil seperti itu. Lalu oleh Adi ia dibimbing duduk di kursi teras. Adi sendiri kemudian duduk di kursi satunya yang terpisahkan oleh meja kecil. Setelah itu, untuk beberapa saat keduanya hanya diam-diaman.
"Aku masuk bentar ya, kak. Ganti baju," pamit Linn siap-siap berdiri.
"Eh, jangan. Nggak usah. Di situ aja dulu," larang Adi setengah memaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen romantis
Teen FictionSebuah cerita cinta yang rada rada. Tidak baik dibaca di tempat umum .