Untuk mempercepat perjalanan jika Linn berpergian, orang tua Linn telah menyediakan beberapa alternatif alat transportasi yang bisa Linn pilih sesukanya. Ada dua motor dan sebuah mobil. Yang motor, satunya motor matic, sementara sisanya bukan motor matic. Namun sehari-hari Linn lebih sering menggunakan yang matic, soalnya tidak perlu capek-capek oper porsneling.
Untuk mobil, Linn belum pernah menggunakannya. Ia belum punya SIM A, juga tidak ingin menambah macet, dan lebih praktis pakai motor katanya, dia takut dibilang pamer harta orang tua, dan selain itu Linn memang tidak bisa nyetir mobil.
Meskipun lebih demen memakai yang matic, bukan berarti motor yang satunya sama sekali tidak terpakai. Sesekali Linn masih menggunakannya. Contohnya sore itu, Linn memilih motor yang bukan matic untuk ke rumah Yonah. Yang sayangnya pilihannya kali itu benar-benar salah besar. Saat masih dalam perjalanan, tiba-tiba rantainya putus!
"Aduh... Ada-ada aja sih motor ini. Padahal kalau pakai yang matic nggak pernah putus rantai kayak gini?!" ratap Linn. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari bengkel. Tapi jangankan bengkel, gubuk derita saja tidak terdapat di sana. Jalan itu cukup sepi berada di pinggiran kota.
Linn mengeluarkan ponsel dari jok motor, mengontak pacarnya minta pertolongan pertama. "Evan ke sini dong, aku lagi di jalan sepi nih."
"Ngapain?! Baru juga beberapa jam yang lalu ketemu, masa udah kangen lagi?"
"Ini bukan untuk kangen-kangenan! Rantai motorku putus. Tolongin."
Tidak ada jawaban.
"Van. Halo."
"Iya. Halo juga."
"Kamu dengerin aku ngomong nggak sih?"
"Denger kok. Tapi aku sambil nonton DVD ya? Emang di sekitar kamu nggak ada bengkel?"
"Kalau ada aku nggak akan minta bantuan kamu!"
"Kamu juga sih, tadi diajak jalan nggak mau. Giliran kena apa-apa baru ngehubungin aku."
"Mau nolongin nggak sih?"
"Iya, iya. Tapi bentar."
"Bentar kapan?"
"Bentar lagi."
"Kamu lagi di mana sih? Suriah? Kayak ada suara-suara tembakan?"
"Tadi kan aku udah bilang, lagi nonton DVD. Nih lagi seru-serunya adegan perang. Tadi penjahatnya nembak polisi, trus...
"Gak penting, Van! Gak pentiiing!" Linn berteriak fals. Mau nembak polisi kek, paranormal, pengacara, dukun beranak, bodo amat! Yang penting kalau ditolak jangan sakit hati. Batin Linn gondok berat.
"Jadi kapan kamu berangkat nyusul?!"
"Sabar. Bentar lagi...
"Dari tadi bentar lagi, bentar lagi. Bentar lagi kapan?! Nunggu adzan maghrib untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya?" cecar Linn makin kesal dengan sikap Evan yang lebih mementingkan nonton DVD.
Tapi tak ada tanggapan apapun dari Evan. Sepertinya ia lebih konsen ke film yang ditontonnya. Kekesalan Linn akhirnya mencapai puncak.
"Van! Dengerin baik-baik, aku mau ngomong penting banget!"
"Ngomong deh. Aku sambil nonton ya, Sayang?"
"Sekarang juga, kita puu.. tus! Putus!"
"Oh. Yaudah."
"Evan sialaaan!" Linn mematikan telepon dengan sebuah pencetan kejam. Pengen rasanya nangis sambil nyakar-nyakar aspal. Sudah rantai motornya putus, sekarang pacarannya juga putus. Tapi putus rantai ini yang paling bikin sedih. Mending tali sandalnya yang putus, bisa langsung Linn buang ke tempat sampah. Kalau rantai motor yang putus, Linn jelas tidak kuat mengangkat motornya ke tempat sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen romantis
JugendliteraturSebuah cerita cinta yang rada rada. Tidak baik dibaca di tempat umum .