10-Begin

140 10 1
                                    

Dunia kadang lucu, mempermainkan mereka yang terlalu sibuk dengan urusannya.

**
Langkah kaki Zevana yang di balut convers buluknya sudah sampai di depan halte tak jauh dari caffe tempatnya tinggal.

Berulang kali ia menghembuskan nafas beratnya, berhasil pergi sekolah dan menghindar dari rentetan pertanyaan Bayu dan Rangga adalah hal yang benar-benar patut ia syukuri.

Kedua adiknya itu terus menyerbunya dengan pertanyaan bagaimana bisa ia pulang membawa tiga unit handphone berlogo apel digigit itu. Dan dengan malasnya Zevana harus menjawab itu dengan pernyataan jatuh dari langit, udah nggak usah di pikirin. Kalo nggak mau sini gue jual aja.

Tujuh menit berlalu, dan masih belum ada bis yang melintas di halte. Biasanya Zevana akan berangkat ke sekolah diantar oleh Obiet tapi karena mobil satu-satunya yang dia miliki itu terpaksa menjadi jaminan hutangnya, alhasil mobil itu ikut di situ pula.

Jam menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Masih pagi, mengingat gerbang sekolahnya di tutup pukul tujuh lebih lima belas menit. Tapi tetap saja jika tak kunjung mendapatkan bis untuk pergi ke sekolah, Zevana juga pasti akan terlambat.

Entah bagaimana tiba-tiba Zevana mengingat kejadian mengerikan yang terjadi hampir empat bulan yang lalu, saat dirinya hampir di perkosa oleh preman jalanan dan di selamatkan oleh Arbani. Ya Arbani.

Zevana menghembuskan nafas kasar begitu nama itu menyelinap masuk keingatannya. Ia masih sedikit ragu dengan laki-laki itu, mengapa tiba-tiba saja ia meminta Zevana untuk menjadi tunangan bayarannya. Dengan imbalan ia akan menghidupi Zevana dan adik-adiknya. Itu masih sangat aneh untuk Zevana.

Tapi mungkin saja itu memang kebiasaan orang kaya untuk menghabiskan uang yang mereka punya. Pikirnya.

Zevana masih merunduk, menatap ujung sepatunya saat sebuah mobil sport berwarna putih itu berhenti satu meter di depan Zevana. Dengan santainya si pengemudi menurunkan kaca mobilnya.

"Eh, sini lu!" ketusnya. Zevana yang merasa ada yang berbicara kontan menoleh. Mendapati Arbani yang tengah melambaikan tangan kanannya ke arahnya.

Zevana mendekat ke arah mobil tersebut, "Ap-"

"Masuk!"

**
Baik Zevana maupun Arbani masih membisu, padahal jelas-jelas mesin mobil yang di kendarai Arbani dan Zevana sudah di matikan. Saat ini keduanya tengah berada di parkiran sekolah. Beberapa murid yang tengah berada di parkiran mencuri pandang ke arah kedua anak adam yang masih mematung itu.

Zevana memijat pelipisnya, lelah dengan dewa batinnya yang sudah bersliweran kemana-mana. Jam menunjukkan pukul tujuh lebih lima, artinya masih ada sepuluh menit lagi bel tanda masuk berbunyi.

"Kita bakalan pergi dan pulang sekolah bareng, karna lu udah nggak kerja di resto lagi. Mulai sekarang kerjaan lu adalah ngebersihin apartemen gue,"

Zevana melotot, tapi kemudian pikiran logisnya menguasainya. Menuntunnya, membersihkan apartement Arbani tidak lah buruk untuknya. Dari pada ia harus terpontang-panting, toh Arbani juga akan menanggung semua kebutuhannya. Zevana melirik Arbani yang masih dengan tampang dingin dan aura mengintimindasinya. Ia sempat heran bagaimana orang tuanya mempunyai anak dengan wajah dan juga prilaku dingin yang seperti Arbani?

Arbani merogoh dasbord mobilnya. Mengeluarkan sebuah kartu kredit dengan warna gold. "Ini, lu bisa pakek ini untuk biaya sekolah lu dan adek-adek lu. Tapi gue bakal tetep pantau pengeluaran lu tiap bulan. Sesuai dengan kontrak kita, jatah lu sepuluh juta sebulan," entah sadar atau tidak, kata jatah yang baru saja diucapkan Arbani seperti kata-kata yang di ucapkan seorang suami kepada istrinya.

Story Of SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang