Aku sedang mencoba menyemai bibit bernama harapan diatas ladang bernama cinta
**
Arbani memicingkan matanya, kepalanya seperti tertimpa benda berat membuatnya nyeri dan pening. Satu lagi seperti ada benda dingin yang menempel dikeningnya.Dirabanya keningnya dengan tangan kanan, handuk? Laki-laki itu mengerutkan keningnya, ada seseorang yang mengompresnya. Lantas ia berusaha duduk dengan bersandar di kepala kasur. Meringis karena kepalanya masih terasa nyeri, ia ingat. Harusnya ia tidur diatas soffa bukan? Karena tadi malam ia baru bisa tidur pukul tiga dini hari. Lantas mengapa ia bisa berada di kamarnya sekarang? Dengan handuk kompres pula.
Pintu kamarnya berdecit terbuka, mencul perempuan dengan baju rumahan membawa nampan berisi air putih dan mangkuk putih yang mengepulkan asap tipis.
Untuk sepersekian detik, dua mata dengan beda jenis itu bertemu. Menatap satu sama lainnya, yang satu sibuk meyakinkan dirinya jika itu bukan mimpi sedangkan yang satu lagi mendesis lega melihat laki-laki itu sudah siuman.
"udah bangun?" Zevana yang pertama kali memutusakan kontak mata itu. Ia lalu melangkah masuk dan duduk di pinggiran kasur dekat dengan Arbani. Menaruh nampan berisi air putih dan bubur ayam dimeja samping kanannya.
Ia lantas menatap Arbani dan tersenyum tipis, mengapai handuk kecil di kening Arbani dan mencelupkannya kembali ke air hangat yang berada dalam baskom. Diperasnya handuk kecil berwarna putih itu, lalu kembali meletakannya di kening Arbani yang masih terasa hangat. Setiap gerakan yang tidak luput dari penglihatan Arbani, walaupun laki-laki itu masih belum mengeluarkan suara.
"gue nggak tau lu suka bubur atau enggak, tapi kata dokter lu harus makan dulu baru boleh minum obat," Zevana mengapai mangkuk putih berisi bubur beras itu, meniupnya perlahan.
Menyendok setengah dan kembali meniupnya, lalu mengarahkan sedok tersebut ke mulut Arbani. Awalnya perempuan itu mengira jika Arbani akan membuka mulutnya dan memakan bubur suapannya, tapi ia salah. Laki-laki itu malah membuang mukanya kekanan hingga sedok berisi bubur itu malah mengenai pipi kanannya.
Zevana mendengus, "lu nggak suka bubur?"
Tidak ada jawaban, hingga perempuan itu menaruh mangkuk tersebut di pangkuannya. "lu harus makan, satu atau dua sendok lebih baik daripada nggak sama sekali,"
Masih tak ada jawaban, Arbani bahkan masih membuang muka tidak berniat menatap Zevana. Diam-diam gadis itu meringis, ia kira Arbani akan senang karena bubur buatannya atau karena perhatian yang ia curahkan. Tapi perempuan itu salah, harusnya ia lebih tau diri. Semenjak kejadian di parkiran apartemen Arbani pasti akan marah besar padanya. Terlebih karena namanya masuk ke daftar tayangan gosip diberbagai channel tivi.
Mungkin saja Arbani tidak ingin berbicara padanya.
Zevana menghela nafas kasar, ditaruhnya kembali sendok berisi bubur itu ke dalam mangkuk. "gue mau minta maaf soal kejadian di carpark, gue minta maaf karena gue keluar nggak ijin, gue juga minta maaf kalo waktu itu gue lebih belain Ray ketimbang lu. Bikin lu jadi masuk berita yang isinya gosip, asal lu tau aja. Yang lu liat itu nggak bener, gue nggak ciuman sama Ray. Dia klilipan dan gue cumak bantu niupin," jeda, Zevana terkekeh pelan. Ia merunduk, menatap lamat-lamat bubur yang ia buat.
"alesan gue kayak alesan yang sering dimunculin di sinetron yah? Tapi kali ini beneran, kemarin gue cumak lagi panik aja. Dan kalo gue jadi lu, gue pasti marah. Gue tau apapun alesan gue, lu emang berhak marah," Zevana mendongak, menatap mata Arbani dari samping. Seperti ada yang meremas hatinya pelan-pelan yang membuatnya nyeri, laki-laki itu seperti acuh dengan apa yang baru saja ia paparkan. Ia meringis samar, memang sejak kapan Zevana pernah didengarkan oleh seorang Arbani?
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Sky
RomanceDidedikasikan untukmu yang abai, untukmu yang tidak ingin membahas perasaanmu sendiri. Tentang langit yang menjadi background seluruh ceritamu. Dan juga tentang bentuk darimu. Dan segala hal tentangmu.